Kamis, 18 Oktober 2018

KONSEP PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA KELUARGA ORANG DENGAN HIV/AIDS (Studi Fenomenologi Pada Keluarga ODHA di Sukabumi)


KONSEP PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA KELUARGA ORANG DENGAN HIV/AIDS
(Studi Fenomenologi Pada Keluarga ODHA di Sukabumi)

Oleh:
Ade Nurpriatna, M.Ud.

ABSTRAK


ODHA adalah singkatan dari Orang Dengan HIV-AIDS. Selama kurun waktu  lima dekade terakhir, HIV-AIDS telah menjadi masalah global. Di tengah-tengah masyarakat ataupun keluarga, banyak penelitian menunjukkan bahwa ODHA sering mendapat stigma negatif dan diskriminasi. Pendidikan Agama Islam yaitu Bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar dia dapat berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam. Tujuan dari penelitian dengan judul “Konsep Pendidikan Agama Islam Pada Keluarga Orang Dengan HIV/AIDS (Studi Fenomenologi Pada Keluarga ODHA)” ini adalah untuk mengetahui pengembangan konsep pendidikan Agama Islam dalam keluarga ODHA dan juga untuk mengetahui implikasinya terhadap keberadaannya dalam sistem penanggulangan HIV. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi yang mencoba menggali konsep pendidikan Agama Islam ODHA sebagai kelompok yang terpinggirkan secara sosial. Strategi yang digunakan adalah studi kasus dari dua orang ODHA, Ibu Nia dan Bapak Mu’in. Data dikumpulkan dengan wawancara mendalam dan observasi baik dari ODHA maupun orang-orang terdekatnya dan juga para ahli dalam bidang HIV-AIDS sebagai triangulasi. Total informan dalam penelitian ini adalah 4 orang. Dari penelitian ini ditemukan bahwa (1) Ibu Nia dan Bapak Mu’in sama-sama menerapkan pendidikan Agama Islam pada keluarganya (2) Faktor yang mempengaruhi penerapan pendidikan Agama Islam pada keluarga Ibu Nia dan  Pak Mu’in adalah keinginan kuat agar keluarganya terhindar dari imbas pergaulan bebas.

Kata Kunci:  ODHA, Pendidikan Agama Islam

PENDAHULUAN

HIV/AIDS dalam era globalisasi ini merupakan isu yang mendunia. Permasahalan ini menjadi epidemi berkepanjangan di seluruh dunia selama kurun waktu 60-70 tahun belakangan. Virus HIV tersebar tidak hanya pada orang-orang yang cenderung dekat dengan seks bebas dan pengguna obat-obat terlarang, namun dapat mengenai siapapun, termasuk orang dengan latar belakang baik bahkan hingga petugas kesehatan.
Pandangan masyarakat tentang “penyakit yang tidak dapat disembuhkan” yang melekat pada penderita AIDS, menjadikan AIDS momok menakutkan. Dampak epidemi ini tidak hanya terbatas pada diri ODHA, tetapi menjadi permasalahan dalam setiap aspek kehidupan masyarakat termasuk dalam tatanan pemerintahan bahkan hingga politik dan ekonomi negara. Selain itu dampak  paling signifikan tentu berimbas kepadadiri ODHA, tidak hanya sebagai individu namun juga sebagai bagian dari keluarga dan masyarakat.
Di sisi lain Agama Islam beserta ajaran-ajaran yang di bawa nabi Muhammad datang sebagai rahmat bagi alam semesta. Esensi dari Pendidikan Agama Islam adalah membimbing manusia menuju “versi” terbaik dirinya. Nilai- nilai yang terkandung di dalamnya banyak berupa seruan meninggalkan hal-hal bathil. Yang mana hal “bathil” tersebut bisa jadi merupakan penyebab orang lain terpapar virus HIV ini.
Stigma yang kental melekat di masyarakat adalah kurangnya pendidikan keagamaan pada penderita HIV yang menyebabkan penderita tertular. Tidak sedikit pula yang menyangsikan pendidikan Agama pada keluarga ODHA. Padahal tidak semua ODHA memiliki latar belakang pendidikan keagamaan yang tidak baik. Tidak sedikit ODHA berasal dari lingkungan dan latar belakang pendidikan keagamaan baik namun tetap terjangkit virus mematikan ini. Bahkan lebih ironis lagi ada seorang ustadz yang notabene terkenal baik juga terjangkit HIV.
Sebagai upaya memproteksi keluarga terutama anak-anaknya dari bahaya penularan  virus  ini,  ODHA  menanamkan  nilai-nilai  keagamaan  pada keluarga sedari dini. Hal tersebut dilakukan dengan harapan keturunan ODHA hidup dengan baik dan mendapat tempat yang baik pula di masyarakat. Terlepas dari berbagai pandangan miring yang melekat pada diri ODHA. Berdasarkan latar belakang tersebut penulis merasa hal ini menarik untuk dikupas lebih dalam.

 

BAHAN DAN METODE

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode kualitatif adalah penelitian yang menekankan pada quality atau hal yang terpenting dari sifat suatu gejala sosial dan makna dibalik kejadian tersebut dapat dapat dijadikan pelajaran berharga bagi suatu pengembangan konsep teori.[1] Istilah penelitian kualitatif dimaksudkan sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistic atau bentuk hitungan lain. Contohnya dapat berupa penelitian tentang kehidupan, riwayat, dan perilaku seseorang, peranan organisasi, gerakan sosial atau hubungan timbal-balik.[2]
Selain itu penulis juga menggunakan model fenomenologi. Menurut Littlejohn (dalam Deddy & Solatun: 2007) menjelaskan bahwa fenomenologi berarti membiarkan segala sesuatu menjadi nyata sebagaimana aslinya, tanpa memaksa kategori-kategori peneliti terhadapnya.[3] Fenomenologi merupakan cara yang digunakan untuk memahami dunia melalui pengalaman langsung.
Jumlah informan dalam penelitian ini adalah 2 kepala keluarga yang terjangkit virus HIV dan petugas Komisi Penanggulangan AIDS Sukabumi sebagai informan pendukung. Teknik pengambilan informan dalam penelitian ini diambil berdasarkan purposive samping. Menurut Suharsimi Arikunto purposive sampling dilakukan dengan cara mengambil subjek bukan berdasarkankan strata, random atau daerah tetapi didasarkan atas adanya tujuan tertentu.[4] Teknik ini biasanya dilakukan karena beberapa pertimbangan, misalnya alasan keterbatasan waktu, tenaga dan dana sehingga tidak mengambil sampel yang besar dan jauh. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam. Sedangkan data sekunder adalah data profil tempat penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN KEHIDUPAN SOSIAL ODHA

Beberapa faktor sangat determinan dalam penerapan konsep pendidikan dalam keluarga. Salah satunya adalah faktor lingkungan dan kehidupan sosial seseorang, baik sebagai seorang individu maupun bagian dari masyarakat. Dalam hal ini sangat penting mengetahui kehidupan sosial seorang penderita HIV.
Hidup dengan HIV/AIDS memang pada kenyataannya sulit dan menyedihkan. Menerima kenyataan mengidap suatu virus yang tak bisa disembuhkan bukan hal bisa dianggap biasa-biasa saja, terutama secara  psikologis. Resiko mendapat perlakuan diskriminatif dari masyarakat membuat ODHA tak jarang menyembunyikan status yang dimilikinya. Belum lagi proses penerimaan diri sendiri yang tentu tidak mudah dan membutuhkan waktu yang lama.
Proses seorang individu untuk dapat menerima dirinya tidak dapat muncul begitu saja, melainkan terjadi melalui serangkaian proses secara bertahap. Menurut Germer (2009), tahapan penerimaan diri terjadi dalam 5 fase, antara lain:
Pertama, penghindaran (Aversion) merupakan reaksi naluriah seorang individu jika dihadapkan dengan perasaan tidak menyenangkan. Bentuk penghindaran tersebut dapat terjadi dalam beberapa cara, dengan melakukan pertahanan, perlawanan, atau perenungan.
Kedua, keingintahuan (Curiosity) Setelah melewati masa aversion, individu akan mengalami adanya rasa penasaran terhadap permasalahan dan situasi yang mereka hadapi sehingga mereka ingin mempelajari lebih lanjut mengenai permasalahannya tersebut walaupun hal tersebut membuat mereka merasa cemas.
Ketiga, toleransi (Tolerance) Pada tahap ketiga ini, individu akan menahan perasaan tidak menyenangkan yang mereka rasakan sambil berharap hal tersebut akan hilang dengan sendirinya.
Keempat, membiarkan (Allowing) Setelah melalui proses bertahan akan perasaan tidak menyenangkan telah selesai, individu akan mulai membiarkan perasaan tersebut datang dan pergi begitu saja. Individu secara terbuka membiarkan perasaan itu mengalir dengan sendirinya.
Kelima, persahabatan (Friendship) Seiring dengan berjalannya waktu, individu akan mulai bangkit dari perasaan tidak menyenangkan tadi dan mencoba untuk dapat memberi penilaian atas kesulitan tersebut. Bukan berarti ia merasakan kemarahan, melainkan individu dapat merasa bersyukur atas manfaat yang didapatkan berdasarkan situasi ataupun emosi yang hadir.[5]
Hal ini sejalan dengan apa yang diutarkan oleh informan 1 dan 2 ketika penulis temui di kediamannya. Sebut saja namanya Ibu Nia dan Pak Mu’in. kedua informan yang penulis datangi memiliki latar belakang yang sama sekali berbeda satu dengan yang lainnya.
Ibu Nia merupakan seorang ibu rumah tangga berusia 40 tahun dan sudah 5 tahun mengetahui dirinya terinfeksi virus HIV. Sebelum terinfeksi HIV beliau memiliki latar belakang keluarga yang sangat baik dan taat agama. Ibu Nia terinfeksi virus HIV dari suaminya yang merupakan seorang pengguna narkoba suntik “penasun”. Hal ini menjadi bukti tak terbantahkan bahwa tidak semua penderita HIV memiliki latar belakang yang buruk. Dan setiap orang bahkan dari pergaulan yang baik pun tidak luput dari bahaya virus mematikan ini.
Pak Mu’in dahulu adalah seorang penasun selama kurang lebih 10 tahun. Pak Mu’in telah mengalami masa rehabilitasi di salah satu LSM yang menangani masalah Narkoba di kota Sukabumi. Beliau adalah peribadi yang tertutup, sehingga tidak bebas mengungkapkan pendapat bahkan dalam keluarganya sekalipun. Pak Mu’in mengetahui bahwa dirinya terjangkit virus HIV sejak tahun 2015 silam.
Keduanya memiliki permasalahan yang sama ketika dihadapkan dengan keadaan    yang sulit. Sebelum menerima kenyataan keduanya merasakan penyesalan dan kejadian yang menerima mereka. Hingga akhirnya menerima dan “bersahabat” dengan  pengalaman pahit hingga saat ini.
Setelah ODHA secara sadar menerima keadaan yang menimpa dirinya, mereka dihadapkan dengan diskriminasi yang terjadi dalam masyarakat. Menurut Kang Dian informan ke-3 penulis sekaligus seorang komsioner di Komisi Penanggulangan AIDS, dewasa ini masih terjadi banyak diskriminasi sosial pada ODHA. Secara tidak langsung hal tersebut memberi efek pada psikologi ODHA. Salah satunya adalah diskriminasi diri sendiri. Perasaan mendiskriminasi diri sendiri berasal dari pandangan-pandangan negatif yang akhirnya membelenggu ODHA dalam melaksanakan keinginannya. Menurut Kang Dian pandangan diskriminasi pada diri sendiri muncul akibat bayang-bayang masa lalu dan rasa bersalah pada diri sendiri. Hal ini terjadi pada diri Pak Mu’in. Selain mendiskriminasi diri Pak Mu’in juga memiliki kepribadian tertutup.
Sedangkan disisi lain Ibu Nia memiliki optimistis dan percaya diri tinggi. meskipun dalam beberapa hal beliau sering kali mendiskriminasi dirinya terutama pada hal yang berkaitan dengan keluarga. Beliau tetap terbuka dan tidak malu- malu dengan identtitas “baru”-nya sebagai ODHA. Dengan senantiasa berusaha melakukan yang terbaik yang Ia bisa hari ini. Bahkan turut menjadi relawan konseling sebaya di salah satu LSM di Kota Sukabumi dengan memberi dukungan pada penderita yang baru mengtahui terjangkit HIV.
Kedua ODHA yang menjadi informan penulis memiliki kehidupan sosial yang berbeda. Ibu Nia dengan optimismenya sedangkan Pak Mu’in dengan kepribadian tertutupnya. Hal tersebut mengindikasikan perbedaan kehidupan  sosial pasca menjadi ODHA mungkin terjadi karena perbedaan latar belakang yang dimiliki keduanya.

PENDIDIKAN ISLAM

Secara umum pemaknaan pendidikan Islam berputar pada tiga sudut pandang: Pertama, pendidikan keagamaan. Kedua, Pendidikan dalam Islam. Ketiga, pendidikan menurut Islam. Ketiganya memiliki perbedaan yang signifikan dan  “menelurkan”  disiplin  ilmu  yang berbeda-beda.  Penegasan  makna di antara ketiganya harus diperhatikan. Berkenaan dengan hal tersebut, yang dimaksud dengan Pendidikan Islam adalah konsep yang pertama.[6]6
Secara definitif setiap pakar ilmu pendidikan memiliki penafsiran yang berbeda mengenai makna dari pendidikan. Hal ini karena para ahli menemui kesulitan yang disebabkan oleh banyaknya jenis kegiatan dan luasnya aspek kepribadian yang harus dibina oleh pendidikan. Dalam mencari definisi pendidikan tergantung dari sudut pandang mana ahli mengartikannya. Namun Ahmad Tafsir berpendapat bahwa pendidikan adalah usaha meningkatkan diri dari segala aspek kepribadian.[7]7
Abuddin Nata memperlua pengertian tersebut dalam 3 dimensi: Pertama, Pendidikan Islam menyangkut aspek jasmani dan rohani. Kedua, Pendidikan  Islam berlandaskan pada nilai-nilai religious. Ketiga, Pendidikan Islam bertujuan membentuk ketakwaan. Dari ketiganya dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan yang diberikan oleh seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam.[8]
Berdasarkan kedua pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa, pendidikan Islam adalah proses membimbing terhadap seseorang yang bersifat progresif dan seoptimal mungkin dalam membentuk muslim ideal. Artinya dengan pendidikan seharusnya seseorang bisa mencapai versi terbaik dirinya dengan dukungan pendidik yang membimbingnya. Dan kata “pendidik” tidak hanya terpaku pada wujud guru melainkan bisa juga keluarga.
Pendidikan Agama Islam harus dihubungkan dengan menghindarkan diri dari perubahan yang berbeda dan perubahan-perubahan kemasyarakatan yang tidak baik dan mencoba memobilisasikan kekuatan agar mengacu kepada tuntutan cita-cita yang berlaku bagi masa mendatang.[9]  Sedangkan Ahmad Tafsir  memiliki pandangan lain tentang tujuan pendidikan Agama Islam, yaitu terbinanya manusia terbaik, dengan 3  karakter:
Pertama, berbadan sehat serta kuat. Artinya memiliki kemampuan otot yang baik serta tidak berpenyakit. Kedua, Memiliki otak cerdas serta pandai. Kecerdasan seseorang dapat dilihat dari kemampuannya menyelesaikan masalahnya dengan berbagai keterampilan yang ia miliki. Ketiga, beriman kuat. Beberapa persoalan yang orang hadapi tidak hanya mengandalkan keterampilan yang dimiliki. Ada masanya manusia bertemu masalah yang tak mampu dirasionalkan. Pada bagian inilah iman seseorang berperan.[10]

 

PENERAPAN PENDIDIKAN ISLAM DALAM KELUARGA

Keluarga ODHA tak ubahnya keluarga-keluarga lain. Mereka menjalani kehidupan normal. Anak-anak mereka belajar seperti anak-anak lainnya. Yang membedakan adalah interaksi yang terjalin dengan anak-anaknya ketika berada dirumah beliau. Penulis mencoba mengungkap bagaimana pandangan Ibu Nia dan Pak Mu’in mengenai pendidikan Islam dalam keluarga masing-masing. Jawaban keduanya serupa namun memiliki ciri khas masing-masing.
Pendidikan Islam dikembangkan menyangkut pada empat aspek utama  yakni pendidikan Ibadah, pendidikan nilai dan pengajaran Al-qur’an, pendidikan akhlaqul karimah, dan pendidikan aqidah Islamiyah.[11] Penanaman keempat aspek tersebut sangat penting. Tujuan utamanya adalah membentuk pribadi muslim paripurna yang berakhlak mulia dan bertakwa kepada Allah.
Ibu Nia secara personal selalu menanamkan nilai-nilai pendidikan Islam bahkan dari sebelum dirinya tahu terjangkit HIV. Hal ini mungkin terjadi karena memang latar belakang keluarga Ibu Nia yang terbilang baik dan sangat kental keislamannya. Disamping itu beliau senantiasa mendorong anaknya untuk mengikuti kegiatan keagamaan di lingkungannya.
Setelah Ibu Nia mengetahui bahwa dirinya terpapar virus, tidak banyak yang berubah. Hanya pandangan tentang pendidikan Islam yang semula biasa-biasa saja dianggap menjadi lebih penting. Sehingga beliau semakin gencar membentengi anaknya dengan nilai nilai Islam yang luhur. Ibu Nia selalu menggantungkan cita-cita dan harapan yang tinggi agar anaknya kelak menjadi anak yang berguna. Dan dari semua hal yang ia cita-citakan hanya harapan semoga anaknya menjadi anak yang shaleh yang dekat dengan Allah swt, dan menjadi muslim yang sempurna.
Tidak berbeda jauh dengan Ibu Nia, Pak Mu’in sebagai seorang kepala keluarga juga merasakan harapan yang besar bagi anak-anaknya. Perbedaan yang terlihat adalah mengenai pendidikan Islam. Perubahan besar terjadi setelah Pak Mu’in mengetahui terinfeksi virus. Semula Ia bahkan tidak mengenal AlqurĂ¡n. Seolah menjadi hidayah virus HIV membawa dirinya pada kehidupan yang lebih baik. Saat ini Ia mengaku tidak pernah melewatkan shalat lima waktu.
Bagi Pak Mu’in penting bagi anak-anaknya untuk mendapatkan pendidikan Islam sejak dini. Selain sebagai bekal di akhirat nanti beliau juga memiliki harapan agar Allah menjauhkan keluarganya dari sifat-sifat seperti dirinya dulu. Meskipun dalam praktiknya beliau tidak memberikan pendidikan Islam secara personal kepada anak-anaknya. Melainkan pada guru ngaji di sekitar rumahnya.
Interaksi antara orang tua dan anak ini penting mengingat penerapan konsep membutuhkan interaksi yang baik sebagai bagian dari proses mendidik, membimbing, dan mengajari. Demi mencapai hasil yang maksimal seharusnya proses interaksi tersebut berjalan secara simultan.[12] Ketika ditanyai bagaimana interaksi dengan anak ketika berada di rumah, keduanya memiliki cara  berinteraksi yang berbeda.
Ibu Nia sebagai seorang Ibu dan orang tua tunggal cenderung lebih protektif pada anaknya. Tak jarang dalam mendidik anak terutama dari segi akhlak Ibu Nia mewanti-wanti anaknya agar selalu bersikap baik dan menjauhkan diri dari pengaruh buruk. Ibu Nia tak segan mencontohkan dirinya sebagai perbandingan. Dengan hal tersebut beliau bermaksud mengemukakan bahkan dengan pergaulan dan akhlak yang baik belum tentu terbebas dari imbas pergaulan bebas. Apalagi jika  moral  tidak  terpelihara  oleh  akhlak  karimah,  tentu  lebih  besar risikonya.
Memang dalam pendidikan Islam terutama akhlak tidak hanya dikemukakan secara teoritik, melainkan diimbangi dengan contoh konkret untuk dihayati maknanya.[13]
Dalam keluarga Pak Mu’in lebih mengandalkan orang lain dalam mendidik anak-anaknya, yaitu istrinya. Secara umum Pak Mu’in sangat jarang mengutarakan pikirannya pada keluarganya. Satu-satunya orang yang bisa  menjadi “andalan” Pak Mu’in adalah istrinya. Hal ini bisa jadi karena perasaan mendiskriminasi diri akibat rasa bersalah seperti yang telah di bahas sebelumnya. Perasaan tidak pantas untuk mendidik dan menceramahi karena bekaca pada pengalaman kelamnya.
Di samping harapan dan usaha yang dilakukan, keduanya tentu menemukan kendala dalam mengimplementasikan nilai-nilai Islam pada keluarganya. Secara eksplisit keduanya hampir sama bergantung pada kehidupan sosial dalam keluarganya. Baik Ibu Nia maupun Pak Mu’in sama-sama meyakini kendala yang terjadi tidak hanya dalam dimensi internal keluarga namun juga dimensi eksternal.
Dimensi internal yang terjadi terutama pada Pak Mu’in adalah perasaan bahwa dirinya tidak layak mendidik dan telah gagal sebagai orang tua. Sedikit berbeda dengan Ibu Nia yang optimis namun merasa bahwa keilmuannya tidak cukup. Sedangkan Dimensi eksternal yang dimaksud adalah diskriminasi lingkungan pada ODHA sehingga berimbas pada keluarga. Seperti penuturan Kang Dian memang Diskriminasi masih kerap terjadi di dalam masyarakat terutama bagi mereka yang kurang tahu tentang HIV/AIDS. Sehingga tak jarang orang memandang miring pada ODHA.
Dalam menanggapi kendala dimensi internal ODHA dapat menggunakan alternatif solusi seperti yang dilakukan Ibu Nia dan Pak Mu’in, yaitu mempercayakan pendidikan anak-anaknya pada lembaga pendidikan tertentu. Namun hal yang mesti di garis bawahi adalah masalah keterbukaan dan interaksi dengan anak.
Yang menjadi masalah dan perlu segera di lakukan pembenahan adalah mengenai diskriminasi masyarakat terhadap ODHA yang dewasa ini masih sering terjadi. Selain usaha pendekatan yang baik oleh ODHA sendiri, perlu adanya sosialisasi pada masyarakat sehingga perlakuan diskriminatif bisa di tekan seminim mungkin.
Terlepas dari segala kendala yang ada sejatinya ODHA beranggapan bahwa sangat penting membimbing anak-anaknya dengan bimbingan pendidikan Islam yang baik. Hal tersebut tentu dengan harapan bisa menjadi alternatif solusi dari bayang-bayang pergaulan bebas dan menjauhkan anak-anaknya dari pengalaman pahit yang mereka alami saat ini, sehingga menjadi versi terbaik dari dirinya sebagai muslim dan sebagai manusia. Senada dengan konsep pendidikan Islam yang di sampaikan oleh Ahmad Tafsir, bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan terhadap seseorang agar dia menjadi muslim semaksimal mungkin.

 

SIMPULAN

Konsep pendidikan Islam dalam keluarga ODHA sebenarnya tidak berbeda jauh dengan konsep pendidikan Islam di keluarga yang lain. Hanya saja ODHA seringkali mendiskriminasi diri dengan pandangan negatif bahwa dirinya tidak layak untuk mendidik anak-anaknya secara personal. Baik karena rasa  bersalahnya atau karena ketidakmampuannya. Sehingga dengan  pemikiran terbuka menyerahkan proses pendidikan Islam pada Orang yang dianggap lebih mampu.
Harapannya dengan pendidikan Islam yang baik mampu membentengi iman anak-anaknya sehingga tidak terjebak pergaulan bebas. Disamping itu terdapat kendala dari dimensi eksternal ODHA, yaitu perlakuan diskriminatif dari masyarakat. Hal ini semestinya dapat ditekan dengan sosialisasi yang baik pada masyarakat tentang HIV/AIDS.
Terlepas dari semua perdebatan tentang HIV/AIDS. Ibu Nia dan Bapak Mu’in adalah contoh ODHA yang menganggap penting pendidikan Islam sebagai alternatif  solusi  penanggulangan  HIV/AIDS.  Karena  dengan  membentengi diri dengan pendidikan Islam yang baik sedari dini, besar harapan bagi anak untuk melanjutkan kehidupan yang lebih baik.

 

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Abdurrahman Saleh. 2007. Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al- Qur’an. Cet ke-4. PT. Rineka Cipta. Jakarta.
Arikunto,  Suharsimi.  Manajemen  Penelitian.  2013.  Cet  ke-12.  Rineka   Cipta. Jakarta.
Basrowi  dan  Suwandi.  2008.  Memahami  Penelitian  Kualitatif.  Rineka   Cipta. Jakarta.
Germer, C. K. 2009. The Mindful Path to Self-Compassion. The Guilford Press. United State of America.
Mulyana, Deddy dan Solatun. 2007. Metode Penelitian Komunikasi. Remaja Rosdakarya. Bandung.
Nata, Abuddin. Kapita Selekta Pendidikan Islam. 2003. Percetakan Angkasa: Bandung
Satori, Djam’an  dan Aan Komariah. 2013. Metodologi Penelitian Kualitatif.  Cet. 5. Alfabeta. Bandung.
Tafsir, Ahmad. 2011. Metodologi Pengajaran Agama Islam. Cet ke-11. PT. Remaja  Rosdakarya. Bandung.

Tafsir, Ahmad..   2014.   Filsafat   Pendidikan   Islami.   Cet   ke-4.   PT.   Remaja Rosdakarya. Bandung.



[1] Djam’an Satori dan Aan Komariah, Metodologi Penelitian Kualitatif. (Alfabeta: Bandung. 2013). hlm. 22
[2] Basrowi & Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif. (Rineka Cipta: Jakarta. 2008) hlm. 21
[3] Deddy Mulyana dan Solatun, Metode Penelitian Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), hal. 91
[4] Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian. (Jakarta: Rineka Cipta 2013), hlm. 97
[5] Germer, C. K. The Mindful Path To Self-Compassion. (United State of America: The Guilford Press. 2009). hlm. 28
[6] Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Percetakan Angkasa: Bandung, 2003). hlm. 58-59
[7] Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011) hlm. 5-6
[8] Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Percetakan Angkasa: Bandung, 2003). hlm. 12-13
[9] Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an. (PT. Rineka Cipta: Jakarta. 2007). hlm. 153
[10] Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami, (PT Remaja Rosdakarya: Bandung. 2014). hlm. 79-80 11 Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Percetakan Angkasa: Bandung, 2003). hlm. 219
[11]Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Percetakan Angkasa: Bandung, 2003). hlm. 219 
[12] Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Percetakan Angkasa: Bandung, 2003). hlm. 173
[13] Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Percetakan Angkasa: Bandung, 2003). hlm. 278

Tidak ada komentar:

Posting Komentar