Selasa, 11 Juni 2019

QUO VADIS


QUO VADIS HATI PEMERINTAH

Oleh:

Ade Nurpriatna Ibrahim





Pesta demokrasi sudah kita lewati, dalam sejarah bangsa ini pemilu 2019 adalah pemilu yang banyak meminta perhatian dan menguras energi masyarakat kita. Orang yang tadinya tidak pernah dengan politik hari ini mereka melek politik karena setiap hari disuguhi oleh tingkah laku elit politik petahana maka muncullah beberapa satire cebong dan kampret, PKI versus khilafah, perang total versus perang badar sampai isu makar digelindingkan untuk membungkam kedaulatan rakyat.     
          
Pemerintah ingin menghadirkan pemilu yang jujur dan adil, tapi semua ini dicederai dengan lahirnya insiden yang secara kasat mata, kita tidak bisa menapikan kebenaran tentang kecurangan pemilu yang dimulai dari kasus suara yang tercoblos untuk Paslon 01, salah input data, dan itu bukan hanya 1, 2, dan 3 angkanya, tetapi begitu fantastis.                 
Persoalan input data dan kecurangan belum selesai, muncul persoalan baru dengan banyaknya korban yang berjatuhan. Berdasarkan data Kementrian Kesehatan melalui Dinas Provinsiny, petugas yang meninggal hampir 700 orang yg sakit 11.239 orang. Tapi mulutmu diam, hatimu beku,  kemanakah hati pemerintahku? Satu gajah mati kamu peduli.

Bangsa ini sudah memberikan kesempatan kepadamu mengabdi pada negara hampir 5 tahun, hal ini di buktikan dengan akan berakhirnya pemerintahanmu. Rakyat tidak banyak menuntut, hanya ingin pemilu jujur dan adil, dan terpilihlah presiden pilihan rakyat,  bukan presiden pilihan KPU dan pilihan quick count. Iedul Fitri dengan hati yang bersih dan tak apa-apa tak terbeli baju baru (baju dulag) yang penting presiden baru.

Jumat, 19 Oktober 2018

KAIDAH KESHAHIHAN ISNAD DAN KELEMAHNNYA

KAIDAH KESHAHIHAN ISNAD DAN KELEMAHNNYA

Oleh : Ade Nurpriatna
A. Pendahuluan
Allah S.w.t. memuliakan umat Islam dengan keistimewaan yang besar yang tidak diberi kepada umat manusia selain mereka, yaitu isnad. Keistimewaan umat Islam ini merupakan jaminan Allah s.w.t  untuk menjaga sumber hukum al-Quran dan Sunnah. Tradisi “Sanad” ini adalah suatu intipati terutama dalam sistem penilaian keabsahan pesan agama sejak generasi awal Islam.
Penelitian tentang kaidah sanad merupakan kegiatan ilmiah untuk membuktikan kebenaran suatu hadis dan bagian dari upaya membenarkan yang benar dan membatalkan yang batil dalam keabsahan hadits. Umat Islam sangat besar perhatiannya dalam penelitian isnad, karena berkaitan dengan hukum yang bersumber dari  Nabi Muhammad SAW., baik berupa ucapan, perbuatan, dan ketetapan yang disandarkan kepada beliau-. Usaha ini hanya mempunyai satu tujuan, yaitu mengikuti jejak Nabi Muhammad SAW., dengan berjalan di atas sunnah beliau, dalam rangka mencapai keridlaan Allah SWT. dan mendapatkan kecintaannya.
Sudah sejak lama para para ulama berusaha memelihara peninggalan Nabi ini, dan menjaganya dari persangkaan negatif dan pemalsuan yang ternyata banyak dilakukan oleh berbagai kalangan. Usaha pemeliharaan pusaka Nabi Muhammad tersebut dimulai dengan pembukuan secara umum tentang hadis dan secara terus menerus diadakan penelitian melalui proses yang sangat ketat berdasarkan metodologi dan standart yang diciptakan secara sendiri-sendiri oleh masing-masing peneliti. Hasil usaha para ulama peneliti hadis adalah penetapan lima persyaratan keshahihan hadis Nabi; baik yang berkenan dengan sanad ataupun dengan matan.

B .  Makna Sanad dan Isnad
Kata Sanad menurut Etimologi adalah sandaran atau sesuatu yang dijadikan sandaran. Dikatakan demikian, karena setiap hadits selalu bersandar kepadanya.

المعتمد ,وسمي كدلك لان الحديث يستند اليه ويعتمد عليه
Artinya : “Sanad berarti pegangan, dikatakan demikian karena hadits disandarkan kepadanya”[1]
Adapun tentang arti sanad menurut Terminologi, terdapat perbedaan rumusan pengertian. Al-Badra bin Jama’ah dan At-Tiby mengatakan bahwa Sanad adalah : الإخبارعن طريق االمتن  “Berita tentang jalan matan”. Sebagian ulama mendefinisasikan sanad sebagai silsilah orang-orang (yang meriwayatkan hadits), yang menyampaikannya pada matan hadit, ada juga ulama yang mendifinisasikan sebagai suatu: “Silsilah para perawi yang menukilkan hadits dan sumbernya yang pertama[2]

Yang berkaitan dengan sanad, adalah kata-kata, seperti Al-Isnad, Al-Musnid dan Al-Musnad. Kata-kata ini secara terminology mempunyai arti yang cukup luas, sebagaimana yang dikembangkan oleh para ulama.
Kata Al-Isnad berarti menyandarkan, mengasalkan (mengembalikan ke asal), dan mengangkat. Maksudnya ialah menyandarkan hadits kepada orang yang mengatakannya. Menurut At-Tiby, “kata Al-Isnad dan As-Sanad digunakan oleh para ahli dengan pengertian yang sama.[3]
Kata Al Musnad mempunyai beberapa arti, bisa berarti hadits yang disandarkan atau diisnatkan oleh seseorang, bias berarti kumpulan hadits yang diriwayatkan dengan menyebutkan Sanad secara lengkap. Seperti Musnad Al-Firdaus, bisa berarti nama kitab yang menghimpun hadits-hadits dengan system penyusunan berdasarkan nama-nama para sahabat dan para perawi hadits. Seperti kitab Musnad Ahmad, tetapi bisa juga berarti nama bagi hadits yang marfu’ dan Muttasil yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW[4].

Ada beberapa istilah yang terkait dengan sanad dalam Ilmu Hadits antara lain :
  • Isnad Adalah tidak berbeda jauh dengan sanad yaitu menjelaskan jalan materi hadits (Matan) dengan meriwayatkan hadits secara musnad.
  • Musnad adalah secara harfiah berarti kata benda yang menunjukkan palaku. Sedangkan secara istillah sebagaimana pernyataan dari Mahmud At-Tahhan “ Orang yang meriwayatkan hadits dengan sanadnya, baik dia tahu tentang sanad atau tidak, maka dia sekedar meriwayatkan.”
  • Musnad adalah sesuatu yang di sandarkan kepada musnid yang bersumber dari musnid sebelumnya dan disebarkan kepada musnid selanjutnya. Dalam hal ini musnadnya adalah hadits yang disandarkan kepada rawi lain.

C. Kesahihan Isnad
Latar belakang munculnya kritik sanad hadits, adalah karena apabila kitab ini disusun hadits telah mengalami pemalsuan, sementara sanad memiliki kedudukan yang amat penting bagi hadits, sehingga untuk meneliti suatu hadits peran hadits sangat sentral, mengingat berkait dengan manusia sebagai sandaran periwayatan. Akan tetapi masalah lain timbul, persoalan apakah suatu hadits dari dan betul-betul disabdakan oleh Nabi SAW. Tentunya harus ada pembedaaan secara jelas yaitu Apakah mengingkari Muhammad SAW sebagai Rasul Allah atau meragukan apakah hadits itu benar-benar berasal darinya.
Bila mempersoalkan masalah ini, artinya hadits berada dalam lingkaran yang kedua tadi dimaksudkan sebagai sikap kritis terhadap hadits, maka hal itu bukanlah merupakakan sesuatu yang tabu. Sebab sikap seperti itu sama sekali bukan hal yang baru di kalangan para pemikir Islam.
Tujuan dari sanad itu sendiri adalah sebagai pengetatan dan sikap hati-hati dalam meriwayatkan hadits, dan dalam perkembangan terhadap sanad ini maka munculah sebuah metode atau sistem al Jarah wa al Ta’dil, yaitu, kritik terhadap rawi-rawi hadits.
Pada masa Nabi SAW, isnad itu masih bersifat sederhana, namun menjelang akhir abad pertama hijri ilmu tentang isnad ini benar-benar telah berkemban[5].
Kajian kaidah keshaihan isnad dan kelemahannya merupakan akurasi kaedah kesahihan sanad hadis diarahkan pada faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan kualitas sanad dan kualitas matan suatu hadis tertentu. Dan apabila kaedah kesahihan hadis itu sejalan dengan kritik sumber yang dikenal ilmu sejarah, maka kaedah tersebut merupakan suatu metode ilmiah yang perlu dikembangkan dalam kajian hadis yang perlu dilakukan karena ada beberapa aspek penting, yaitu :
a. Mengingat kedudukan kualitas hadis erat sekali kaitannya dengan dapat atau tidaknya suatu hadis dijadikan sebagai hujjah atau dalil agama. Dengan demikian penelusuran secara historis sesuatu yang dikatakan sebagai hadis Nabi itu, apakah benar-benar dapat dipertanggungjawabkan tingkat validitas dan akurasinya berasal dari Nabi Muhammad SAW.
b. Suatu hadis yang sanadnya sahih, tidak dengan sendirinya maka hadis itu juga berkualitas sahih. ada sebab-sebab yang lain, misalnya peluang dominan riwayat bil-makna atau peran hadis yang bersifat duniawi.
c. Kaidah kesahihan sanad hadis merupakan salah satu acuan umum yang mendasar untuk meneliti dan menentukan kualitas suatu hadis maka keadaan tersebut perlu ditelaah secara kritis. Para ulama Mutaqaddimin, yang menyatakan bahwa sanad menduduki posisi strategis dalam kualitas hadis, juga dikatakan sebagai bagian dari agama. Kajian ini diharapkan bisa dapat diketahui relevansinya antar unsur-unsur yang terdapat dalam kaedah tersebut, sehingga dibuat sebagai acuan untuk menentukan kesahihan hadis, baik dari segi sanad atau matannya[6].
d. Hadis Nabi di satu sisi merupakan fakta sejarah, dan dalam ilmu sejarah telah dikenal adanya kritik sumber, maka kaedah kesahihan sanad hadis perlu dikaji melalui pendekatan ilmu sejarah[7].
Kaidah keshahihan sanad hadits, merupakan teori yang dipergunakan untuk penelaahan unsur-unsur kaedah kesahihan sanad hadis adalah argumen-argumen naqliy, aqliy, sejarah dan ilmu sejarah, penerapaan dari argumen-argumen tersebut dikemukakan sebagai berikut :
  1. Argumen-argumen yang mendasari unsur sanad bersambung adalah sejarah, naqliy (hadis Nabi SAW) dan logika.
  2. Argumen-argumen yang mendasari unsur beragama Islam (unsur minor dari unsur periwayat bersifat adil) dalil naqliy dan aqliy (logika) atau dalil  al-badihiy (aksioma).
  3. Argumen yang mendasari unsur berstatus mukallaf (unsur minor dari periwayat bersifat adil), adalah dalil aksioma juga.
  4. Argumen yang mendasari unsur melaksanakan ketentuan agama, adalah naqliy, logika dan kejiwaan.
  5. Argumen yang mendasari unsur terhindar dari syadz dan unsur terhindar dari illat Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa dokumentasi mempunyai peranan sangat penting dalam penelitian yang berorientasi sejarah. dokumentasi di sini berarti proses pembuktian fakta sejarah, baik yang bebentuk tulisan, lisan, gambar ataupun arkeologi. Pengertian ini berarti sinonim dengan sumber, baik tertulis atau tidak, resmi atau tidak resmi, primer atau bukan primer Dilihat dari obyeknya, penelitian yang berorientasi sejarah sama dengan penelitian hadis, yaitu sama-sama meneliti sumber dengan tujuan memperoleh data yang otentik dan akurat.
Sanad hadis adalah merupakan sumber riwayat, karena didalamnya terdapat beberapa saksi, baik langsung atau tidak langsung, yang terdiri dari kalangan sahabat dan generasi-generasi beikutnya sampai perawi terakhir atau para mukharrij (kolektor hadis). Perawi dari kalangan sahabat disebut sebagai sumber primer, sedangkan generasi berikutnya disebut sebagai sumber sekunder. Keadaan yang demikian selaras dengan sumber data menurut ilmu sejarah. Dalam ilmu sejarah, yang disebut sumber primer adalah saksi mata atau indera lainnya atau alat mekanis, sedangkan sumber sekunder adalah kesaksian dari orang yang tidak hadir pada peristiwa yang disaksikannya Dilihat dari obyeknya, penelitian hadis dapat diarahkan pada dua sisi, yaitu sanad dan matan. Kritik yang ditujukan kepada sanad merupakan kritik ekstern (al-Naqd al-Kharijiy), sedang kritik yang ditujukan kepada matan merupakan kritik intern (al-Naqd al Dakhiliy). Ini juga sejalan dengan teori sejarah, yakni penelitian sumber data ditujukan kepada kritik ekstern dengan maksud membuktikan otentik tidaknya suatu dokumen, menelusuri kredibilitas pembuatnya dan asal-usul sumber. Kritik intern untuk membuktikan akurasi isi sumber, bisa diterima tidaknya sebagai fakta historis, bahasanya dan tujuannya.
Kesahihan sanad hadits yang dimaksud dengan kesahihan sanad hadits menurut Subhi Shalih dalam Noor Kholis yaitu segala syarat atau criteria yang harusdipenuhi oleh suatu sanad hadits yang berkualitas shahih[8]. Adapun criteriakesahihan sanad hadits yaitu:
a. Ittishal as sanad (sanad bersambung)
 Yaitu tiap perawi dalam sanadhadits dari perawi pertama sampai terakhir menerima riwayat haditsdari perawi sebelumnya, yaitu sahabat.
b. Perawi bersifat‘adil 
Yaitu memenuhi kriteria mukallaf, beragamaIslam, melaksanakan ketentuan agama dan memelihara muru’ah.
 c. Perawi  bersifat dhabit.
Yaitu  kuat  hafalan  atau  hafal  dengan sempurna dari awal menerima sampai meriwayatkannya kembali.
d. Terhindar syudzudz 
Yaitu suatu sanad yang tidak bertentangan dengan sanad yang lebih kuat derajatnya.
Para ulama’ berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau darisanad (kuantitas/jumlah perawi), sebagian ulama membaginya menjadi 3bagian yaitu hadits mutawatir, masyhur dan ahad. Hal ini sesuai denganulama’ ushul yaitu Abu Bakar Al Jasis yang menjadikan hadits masyhur berdiri sendiri[9].
Sedangkan sebagian ulama’ yang lain menyatakan bahwa haditsmasyhur bukan merupakan hadits yang berdiri sendiri, tetapi merupakanbagian dari hadits ahad. Maka ulama’ membagi hadits berdasar sanadnyamenjadi hadits mutawatir dan hadits ahad.
tingkatan[10].
Para ulama hadits mencurahkan upaya maksimal dalam meletakkan kaidah-kaidah ilmiah isnad sebagai upaya dalam menjaga hadits. Di antara prinsip-prinsip tersebut yang paling penting adalah sebagai berikut.
Pertama, menjaga sanad (mata rantai rawi). Sarana utama yang digunakan para kritikus hadits dalam membedakan shahih dan palsu adalah sanad. Dengan sanad, kita dapat mengetahui orang-orang yang memalsukan hadits, yaitu dengan jalan mencari biografi mereka dalam buku-buku biografi. Dengan sanad, kita juga bisa tahu apakah riwayatnya bersambung atau terputus. Tanpa sanad, kita tidak dapat mengetahui hadits-hadits yang shahih dan yang palsu, sehingga kelompok bid'ah dan batil dapat membuat-buat hadits[11].
Kedua, menyelidiki sejarah hidup rawi. Untuk menjelaskan betapa penting riwayat hidup rawi, Ibnul Madini berkata, "Memhami makna-makna hadits adalah setengah ilmu dan mengetahui kehidupan perawi adalah setengah ilmu." Para ulama kemudian menyusun biografi dan sejarah hidup para rawi dalam kitab-kitab yang memuat nama-nama yang jumlahnya banyak sekali.
Ketiga, melakukan kritik rawi. Para ulama kritikus hadits telah melakukan kritik terhadap setiap rawi yang punya kesalahan, kelemahan, atau kekacauan ingatan, kegoncangan, sikap berlebihan, kelalaian atau lupa, walaupun rawi itu adalah ayah, saudara, anak, kerabat atau teman mereka sendiri. Ali bin Al-Madini ketika ditanya tentang ayahnya, ia berkata, "Tanyakan kepada orang lain tentang beliau." Ketika orang tersebut mengulangi pertanyaannya, Ibnul Madini akhirnya menjawab, "Ini adalah masalah agama. Ia adalah seorang rawi yang lemah (dhaif)."
Tak satu pun ulama yang sungkan untuk menyingkap ke hadapan publik tentang cacat atau aib seorang rawi, sekalipun orang yang paling dekat dengan mereka. Waki', guru Imam Syafi'i, selalu menyertakan rawi lain dalam riwayat yang berasal dari ayahnya. Alasannya sederhana, hanya karena ayahnya pernah mengurus baitul maal. Contoh lain adalah Abu Daud as-Sijistani, penulis kitab Sunan Abu Daud yang berkata, "Anakku, Abdullah, adalah seorang pendusta."
Keempat, ilmu jarh wa at-ta'dil. Ilmu ini merupakan keunggulan umat Islam yang tidak dimiliki umat lain, yang berfungsi menjaga sunnah Rasulullah saw. dari penyusupan. Ilmu ini paling berguna menangkal upaya-upaya yang ingin merusak sunnah.
Kelima, penulisan kitab tentang hadits maudhu' (palsu), lemah, serta rawi yang tercela dan suka memalsukan hadits. Saat kebohongan, penipuan, dan pemalsuan hadits mewabah secara luas, para ulama kritikus hadits menulis kitab tentang hadits palsu, untuk menjelaskan kondisi yang sebenarnya, sehingga tidak ada orang yang dapat melakukan penipuan. Jika seseorang memalsukan sanad yang shahih, atau menyandarkannya pada imam yang kuat, sumbernya akan terlacak[12].

D. Kaidah Kelemahan Isnad
Generasi awal Islam, sejak masa Rasulullah saw. hingga terbunuhnya Khalifah Utsman, tidak pernah saling mendustakan. Rasa saling percaya dan keimanan memenuhi rongga hati mereka. Setelah timbul fitnah, terbentuklah kelompok sempalan dan muncullah kebohongan terhadap Rasulullah saw. yang dilakukan oleh pengikut-pengikut hawa nafsu[13].
Pengaruhnya, para sahabat Rasulullah saw. bersikap tegas dalam menjaga hadits. Mereka meminta sanad dari para rawi dan menetapkannya dalam hadits. Posisi sanad bagi hadits nyaris sama dengan silsilah nasab bagi seseorang. Mereka melakukan kritik dan penyaringan terhadap hadits. Kritik dan penyaringan ini dimulai pada akhir pertengahan abad pertama yang dibangun di atas prinsip-prinsip sebagai berikut.
c.1. Membandingkan hadits yang diriwayatkan dengan hadits yang dihafal di kalangan ulama sahabat.
c.2. Menyelidiki kepribadian, integritas, kecermatan, kejujuran, dan kehati-hatian seorang rawi. Seorang ulama tabi'in bernama Muhammad bin Sirin berkata, "Generasi awal umat ini tidak pernah meminta sanad. Namun, setelah terjadi fitnah (terbunuhnya Utsman), mereka berkata, 'Sebutkan kepada kami para perawi Anda. Kemudian mereka selidiki. Jika mata rantai rawi adalah ahlu sunnah, haditsnya diterima; jika ahlu al-bid'ah, haditsnya ditolak.
c.3. Mempertanyakan sanadnya, seperti telah dijelaskan Ibnu Sirin. Mereka membandingkan hadits yang disampaikan sang rawi dengan hadits yang dihafal. Dalam ilmu mushthalah hadits, kritik isi hadits disebut sebagai naqd matan dan kritik serta penyelidikan terhadap kepribadian rawi disebut naqd isnad. Dengan demikian, dapat dipastikan, kajian terhadap rawi, matan maupun isnad telah dimulai sejak akhir pertengahan abad pertama Hijriah[14].
Para pakar hadits mengidentifikasi sanad-sanad yang lemah dengan baik melalui ciri-cirinya. Setelah melalui penelitian yang mendalam, para kritikus hadits meletakkan prinsip-prinsip dasar untuk mengetahui kelemahan suatu isnad, di antaranya sebagai berikut.
1. Pengakuan pemalsu hadits bahwa ia memalsukan rawi dalam isnadnya, atau indikasi lain yang setingkat dengan pengakuannya. Misalnya, hadits tentang keutamaan-keutamaan Al-Qur'an pada setiap surat, dari awal sampai akhir. Yang semisal dengan pengakuan misalnya perawi menerangkan tanggal lahirnya atau waktu mendengar hadits, padahal sang guru sudah meninggal. Atau, ia mengaku mendengar di suatu tempat dan sang guru belum pernah datang ke sana[15].
2. Sejumlah kritikus hadits menegaskan kebohongan sang rawi. Dengan adanya penegasan kebohongan beberapa kritikus hadits ini, jelas tidak mungkin sepakat untuk berdusta.
3. Indikasi yang berkaitan dengan kondisi pribadi rawi, yang sangat erat kaitannya dengan adalatu ar-rawi,
4. Indikasi yang berkaitan keterputusan isnad, misalnya seorang rawi menerima hadits yang tidak se-zaman
5. Penilaian bahwa seorang rowi suka berdusta, sekalipun dalam menyampaikan hadits ia jujur, tetapi dia tetap dianggap lemah dalam isnad.
6. Penilaian terhadap rawi yang jelek hafalannya “syu’u al-hifdzi”, sebagai dasar yang menyebabkan suatu sanad dianggap lemah[16].


E. Simpulan
Penilaian terhadap kualitas isnad merupakan upaya menjaga kemurnian hadits yang menjadi sumber hukum islam kedua setelah al-Qur’an. Kajian kaidah keshahihan isnad dan kelemahannya berpijak penilaian rawi (periwayat hadits ) yang tertuju terhadap dua aspek utama yaitu terputusnya sanad dan cacatnya seorang rawi. Maka keshahihan dan kelemahan isnad merupak kaidah mendasar dengan asumsi sebagai berikut : 
  1. Bersamung atau terputusnya sanad  yang mendasari kualitas hadits
  2. Penilaian terhadap kepribadian rawi yang menyangkut  “adalatu rowi , tsiqot, fasiq, pelaku bid’ah, pendusta” merupakan pemisah antara isnad yang shahih dan dha’if
3.         Argumen yang mendasari unsur terhindar dari syadz dan unsur terhindar dari illat Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa dokumentasi mempunyai peranan sangat penting dalam penelitian yang berorientasi kuat dan lemahnya isnad.









DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Muhammad dan Muzhakir . Ulumul Hadits,(Bandung: Pustaka Setia, 2004)
Bustamin,. Metodologi Kritik Hadist. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada hlm 2004)
Ismail, M.Syuhudi, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis (PT Bulan Bintang, Jakarta 2006)
Hasyim, Muhammad Umar. Qawaid Ushul al-Hadist., (Dar al-Fikr Beirut tt)

Kholis,,Nur .Pengantar Studi Al-Qur'an dan Al-Hadits, (Yogyakarta: Teras, 2008)
Mudasir , H.. Ilmu Hadist. (Bandung : Pusaka Setia 2008)                 
Rahman, Fatchur, , Ikhtisar Mushthalahul Hadis, (Bandung : Penerbit Al Ma’arif , hlm 1974)
Thahhan, Mahmud  , Taysir Mushthalah al-Hadis, (Beirut : Dar al-Qur'an al-Karim tt)
------------------------- Ushul al-Takhrij wa Dirasat al-Asnid, (Riyadh : Maktabah al-Ma'arif tt)
Shalih, Subhi  ,. Membahas Ilmu-ilmu hadis. (Jakarta : Pustaka Firdaus 2007)
Suparta ,Munzier, Ilmu Hadits,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002)





[1] Mahmud, Atthohan, Taisir Mushtholahal Hadist. Surabaya : Al Hidayah hlm 112
[2] Subhi As-Shalih, , 2007. Membahas Ilmu-ilmu hadis. Jakarta : Pustaka Firdaus hlm 217
[3] Mudasir , H. 2008. Ilmu Hadist. Bandung : Pusaka Setia hlm 87
[4] Bustamin, 2004. Metodologi Kritik Hadist. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada hlm 18

[5] Mahmud al-Thahhan, Taysir Mushthalah al-Hadis, Beirut : Dar al-Qur'an al-Karim Hlm 29
[6] Ibid hlm 120
[7] M.Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis (PT Bulan Bintang, Jakarta) 119
[8] Nur Kholis,Pengantar Studi Al-Qur'an dan Al-Hadits, (Yogyakarta: Teras, 2008). Hlm 252
[9] Munzier Suparta, Ilmu Hadits,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), p. 9 hlm  59
[10] Muhammad Ahmad dan Muzhakir . Ulumul Hadits,(Bandung: Pustaka Setia, 2004), p. 51 hlm 125
[11]  Mahmud al-Thahhan, Ushul al-Takhrij wa Dirasat al-Asnid, Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, hlm. 139)
[12] Ibid hlm 120
[13] Muhammad Umar Hasyim, tt, Qawaid Ushul al-Hadist., Dar al-Fikr Beirut, hlm 172
[14] Ibid hlm 154
[15] Fatchur Rahman, 1974, Ikhtisar Mushthalahul Hadis, Bandung : Penerbit Al Ma’arif , hlm :119
[16] Ibid hlm 123

Kamis, 18 Oktober 2018

KONSEP PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA KELUARGA ORANG DENGAN HIV/AIDS (Studi Fenomenologi Pada Keluarga ODHA di Sukabumi)


KONSEP PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA KELUARGA ORANG DENGAN HIV/AIDS
(Studi Fenomenologi Pada Keluarga ODHA di Sukabumi)

Oleh:
Ade Nurpriatna, M.Ud.

ABSTRAK


ODHA adalah singkatan dari Orang Dengan HIV-AIDS. Selama kurun waktu  lima dekade terakhir, HIV-AIDS telah menjadi masalah global. Di tengah-tengah masyarakat ataupun keluarga, banyak penelitian menunjukkan bahwa ODHA sering mendapat stigma negatif dan diskriminasi. Pendidikan Agama Islam yaitu Bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar dia dapat berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam. Tujuan dari penelitian dengan judul “Konsep Pendidikan Agama Islam Pada Keluarga Orang Dengan HIV/AIDS (Studi Fenomenologi Pada Keluarga ODHA)” ini adalah untuk mengetahui pengembangan konsep pendidikan Agama Islam dalam keluarga ODHA dan juga untuk mengetahui implikasinya terhadap keberadaannya dalam sistem penanggulangan HIV. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi yang mencoba menggali konsep pendidikan Agama Islam ODHA sebagai kelompok yang terpinggirkan secara sosial. Strategi yang digunakan adalah studi kasus dari dua orang ODHA, Ibu Nia dan Bapak Mu’in. Data dikumpulkan dengan wawancara mendalam dan observasi baik dari ODHA maupun orang-orang terdekatnya dan juga para ahli dalam bidang HIV-AIDS sebagai triangulasi. Total informan dalam penelitian ini adalah 4 orang. Dari penelitian ini ditemukan bahwa (1) Ibu Nia dan Bapak Mu’in sama-sama menerapkan pendidikan Agama Islam pada keluarganya (2) Faktor yang mempengaruhi penerapan pendidikan Agama Islam pada keluarga Ibu Nia dan  Pak Mu’in adalah keinginan kuat agar keluarganya terhindar dari imbas pergaulan bebas.

Kata Kunci:  ODHA, Pendidikan Agama Islam

PENDAHULUAN

HIV/AIDS dalam era globalisasi ini merupakan isu yang mendunia. Permasahalan ini menjadi epidemi berkepanjangan di seluruh dunia selama kurun waktu 60-70 tahun belakangan. Virus HIV tersebar tidak hanya pada orang-orang yang cenderung dekat dengan seks bebas dan pengguna obat-obat terlarang, namun dapat mengenai siapapun, termasuk orang dengan latar belakang baik bahkan hingga petugas kesehatan.
Pandangan masyarakat tentang “penyakit yang tidak dapat disembuhkan” yang melekat pada penderita AIDS, menjadikan AIDS momok menakutkan. Dampak epidemi ini tidak hanya terbatas pada diri ODHA, tetapi menjadi permasalahan dalam setiap aspek kehidupan masyarakat termasuk dalam tatanan pemerintahan bahkan hingga politik dan ekonomi negara. Selain itu dampak  paling signifikan tentu berimbas kepadadiri ODHA, tidak hanya sebagai individu namun juga sebagai bagian dari keluarga dan masyarakat.
Di sisi lain Agama Islam beserta ajaran-ajaran yang di bawa nabi Muhammad datang sebagai rahmat bagi alam semesta. Esensi dari Pendidikan Agama Islam adalah membimbing manusia menuju “versi” terbaik dirinya. Nilai- nilai yang terkandung di dalamnya banyak berupa seruan meninggalkan hal-hal bathil. Yang mana hal “bathil” tersebut bisa jadi merupakan penyebab orang lain terpapar virus HIV ini.
Stigma yang kental melekat di masyarakat adalah kurangnya pendidikan keagamaan pada penderita HIV yang menyebabkan penderita tertular. Tidak sedikit pula yang menyangsikan pendidikan Agama pada keluarga ODHA. Padahal tidak semua ODHA memiliki latar belakang pendidikan keagamaan yang tidak baik. Tidak sedikit ODHA berasal dari lingkungan dan latar belakang pendidikan keagamaan baik namun tetap terjangkit virus mematikan ini. Bahkan lebih ironis lagi ada seorang ustadz yang notabene terkenal baik juga terjangkit HIV.
Sebagai upaya memproteksi keluarga terutama anak-anaknya dari bahaya penularan  virus  ini,  ODHA  menanamkan  nilai-nilai  keagamaan  pada keluarga sedari dini. Hal tersebut dilakukan dengan harapan keturunan ODHA hidup dengan baik dan mendapat tempat yang baik pula di masyarakat. Terlepas dari berbagai pandangan miring yang melekat pada diri ODHA. Berdasarkan latar belakang tersebut penulis merasa hal ini menarik untuk dikupas lebih dalam.

 

BAHAN DAN METODE

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode kualitatif adalah penelitian yang menekankan pada quality atau hal yang terpenting dari sifat suatu gejala sosial dan makna dibalik kejadian tersebut dapat dapat dijadikan pelajaran berharga bagi suatu pengembangan konsep teori.[1] Istilah penelitian kualitatif dimaksudkan sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistic atau bentuk hitungan lain. Contohnya dapat berupa penelitian tentang kehidupan, riwayat, dan perilaku seseorang, peranan organisasi, gerakan sosial atau hubungan timbal-balik.[2]
Selain itu penulis juga menggunakan model fenomenologi. Menurut Littlejohn (dalam Deddy & Solatun: 2007) menjelaskan bahwa fenomenologi berarti membiarkan segala sesuatu menjadi nyata sebagaimana aslinya, tanpa memaksa kategori-kategori peneliti terhadapnya.[3] Fenomenologi merupakan cara yang digunakan untuk memahami dunia melalui pengalaman langsung.
Jumlah informan dalam penelitian ini adalah 2 kepala keluarga yang terjangkit virus HIV dan petugas Komisi Penanggulangan AIDS Sukabumi sebagai informan pendukung. Teknik pengambilan informan dalam penelitian ini diambil berdasarkan purposive samping. Menurut Suharsimi Arikunto purposive sampling dilakukan dengan cara mengambil subjek bukan berdasarkankan strata, random atau daerah tetapi didasarkan atas adanya tujuan tertentu.[4] Teknik ini biasanya dilakukan karena beberapa pertimbangan, misalnya alasan keterbatasan waktu, tenaga dan dana sehingga tidak mengambil sampel yang besar dan jauh. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam. Sedangkan data sekunder adalah data profil tempat penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN KEHIDUPAN SOSIAL ODHA

Beberapa faktor sangat determinan dalam penerapan konsep pendidikan dalam keluarga. Salah satunya adalah faktor lingkungan dan kehidupan sosial seseorang, baik sebagai seorang individu maupun bagian dari masyarakat. Dalam hal ini sangat penting mengetahui kehidupan sosial seorang penderita HIV.
Hidup dengan HIV/AIDS memang pada kenyataannya sulit dan menyedihkan. Menerima kenyataan mengidap suatu virus yang tak bisa disembuhkan bukan hal bisa dianggap biasa-biasa saja, terutama secara  psikologis. Resiko mendapat perlakuan diskriminatif dari masyarakat membuat ODHA tak jarang menyembunyikan status yang dimilikinya. Belum lagi proses penerimaan diri sendiri yang tentu tidak mudah dan membutuhkan waktu yang lama.
Proses seorang individu untuk dapat menerima dirinya tidak dapat muncul begitu saja, melainkan terjadi melalui serangkaian proses secara bertahap. Menurut Germer (2009), tahapan penerimaan diri terjadi dalam 5 fase, antara lain:
Pertama, penghindaran (Aversion) merupakan reaksi naluriah seorang individu jika dihadapkan dengan perasaan tidak menyenangkan. Bentuk penghindaran tersebut dapat terjadi dalam beberapa cara, dengan melakukan pertahanan, perlawanan, atau perenungan.
Kedua, keingintahuan (Curiosity) Setelah melewati masa aversion, individu akan mengalami adanya rasa penasaran terhadap permasalahan dan situasi yang mereka hadapi sehingga mereka ingin mempelajari lebih lanjut mengenai permasalahannya tersebut walaupun hal tersebut membuat mereka merasa cemas.
Ketiga, toleransi (Tolerance) Pada tahap ketiga ini, individu akan menahan perasaan tidak menyenangkan yang mereka rasakan sambil berharap hal tersebut akan hilang dengan sendirinya.
Keempat, membiarkan (Allowing) Setelah melalui proses bertahan akan perasaan tidak menyenangkan telah selesai, individu akan mulai membiarkan perasaan tersebut datang dan pergi begitu saja. Individu secara terbuka membiarkan perasaan itu mengalir dengan sendirinya.
Kelima, persahabatan (Friendship) Seiring dengan berjalannya waktu, individu akan mulai bangkit dari perasaan tidak menyenangkan tadi dan mencoba untuk dapat memberi penilaian atas kesulitan tersebut. Bukan berarti ia merasakan kemarahan, melainkan individu dapat merasa bersyukur atas manfaat yang didapatkan berdasarkan situasi ataupun emosi yang hadir.[5]
Hal ini sejalan dengan apa yang diutarkan oleh informan 1 dan 2 ketika penulis temui di kediamannya. Sebut saja namanya Ibu Nia dan Pak Mu’in. kedua informan yang penulis datangi memiliki latar belakang yang sama sekali berbeda satu dengan yang lainnya.
Ibu Nia merupakan seorang ibu rumah tangga berusia 40 tahun dan sudah 5 tahun mengetahui dirinya terinfeksi virus HIV. Sebelum terinfeksi HIV beliau memiliki latar belakang keluarga yang sangat baik dan taat agama. Ibu Nia terinfeksi virus HIV dari suaminya yang merupakan seorang pengguna narkoba suntik “penasun”. Hal ini menjadi bukti tak terbantahkan bahwa tidak semua penderita HIV memiliki latar belakang yang buruk. Dan setiap orang bahkan dari pergaulan yang baik pun tidak luput dari bahaya virus mematikan ini.
Pak Mu’in dahulu adalah seorang penasun selama kurang lebih 10 tahun. Pak Mu’in telah mengalami masa rehabilitasi di salah satu LSM yang menangani masalah Narkoba di kota Sukabumi. Beliau adalah peribadi yang tertutup, sehingga tidak bebas mengungkapkan pendapat bahkan dalam keluarganya sekalipun. Pak Mu’in mengetahui bahwa dirinya terjangkit virus HIV sejak tahun 2015 silam.
Keduanya memiliki permasalahan yang sama ketika dihadapkan dengan keadaan    yang sulit. Sebelum menerima kenyataan keduanya merasakan penyesalan dan kejadian yang menerima mereka. Hingga akhirnya menerima dan “bersahabat” dengan  pengalaman pahit hingga saat ini.
Setelah ODHA secara sadar menerima keadaan yang menimpa dirinya, mereka dihadapkan dengan diskriminasi yang terjadi dalam masyarakat. Menurut Kang Dian informan ke-3 penulis sekaligus seorang komsioner di Komisi Penanggulangan AIDS, dewasa ini masih terjadi banyak diskriminasi sosial pada ODHA. Secara tidak langsung hal tersebut memberi efek pada psikologi ODHA. Salah satunya adalah diskriminasi diri sendiri. Perasaan mendiskriminasi diri sendiri berasal dari pandangan-pandangan negatif yang akhirnya membelenggu ODHA dalam melaksanakan keinginannya. Menurut Kang Dian pandangan diskriminasi pada diri sendiri muncul akibat bayang-bayang masa lalu dan rasa bersalah pada diri sendiri. Hal ini terjadi pada diri Pak Mu’in. Selain mendiskriminasi diri Pak Mu’in juga memiliki kepribadian tertutup.
Sedangkan disisi lain Ibu Nia memiliki optimistis dan percaya diri tinggi. meskipun dalam beberapa hal beliau sering kali mendiskriminasi dirinya terutama pada hal yang berkaitan dengan keluarga. Beliau tetap terbuka dan tidak malu- malu dengan identtitas “baru”-nya sebagai ODHA. Dengan senantiasa berusaha melakukan yang terbaik yang Ia bisa hari ini. Bahkan turut menjadi relawan konseling sebaya di salah satu LSM di Kota Sukabumi dengan memberi dukungan pada penderita yang baru mengtahui terjangkit HIV.
Kedua ODHA yang menjadi informan penulis memiliki kehidupan sosial yang berbeda. Ibu Nia dengan optimismenya sedangkan Pak Mu’in dengan kepribadian tertutupnya. Hal tersebut mengindikasikan perbedaan kehidupan  sosial pasca menjadi ODHA mungkin terjadi karena perbedaan latar belakang yang dimiliki keduanya.

PENDIDIKAN ISLAM

Secara umum pemaknaan pendidikan Islam berputar pada tiga sudut pandang: Pertama, pendidikan keagamaan. Kedua, Pendidikan dalam Islam. Ketiga, pendidikan menurut Islam. Ketiganya memiliki perbedaan yang signifikan dan  “menelurkan”  disiplin  ilmu  yang berbeda-beda.  Penegasan  makna di antara ketiganya harus diperhatikan. Berkenaan dengan hal tersebut, yang dimaksud dengan Pendidikan Islam adalah konsep yang pertama.[6]6
Secara definitif setiap pakar ilmu pendidikan memiliki penafsiran yang berbeda mengenai makna dari pendidikan. Hal ini karena para ahli menemui kesulitan yang disebabkan oleh banyaknya jenis kegiatan dan luasnya aspek kepribadian yang harus dibina oleh pendidikan. Dalam mencari definisi pendidikan tergantung dari sudut pandang mana ahli mengartikannya. Namun Ahmad Tafsir berpendapat bahwa pendidikan adalah usaha meningkatkan diri dari segala aspek kepribadian.[7]7
Abuddin Nata memperlua pengertian tersebut dalam 3 dimensi: Pertama, Pendidikan Islam menyangkut aspek jasmani dan rohani. Kedua, Pendidikan  Islam berlandaskan pada nilai-nilai religious. Ketiga, Pendidikan Islam bertujuan membentuk ketakwaan. Dari ketiganya dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan yang diberikan oleh seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam.[8]
Berdasarkan kedua pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa, pendidikan Islam adalah proses membimbing terhadap seseorang yang bersifat progresif dan seoptimal mungkin dalam membentuk muslim ideal. Artinya dengan pendidikan seharusnya seseorang bisa mencapai versi terbaik dirinya dengan dukungan pendidik yang membimbingnya. Dan kata “pendidik” tidak hanya terpaku pada wujud guru melainkan bisa juga keluarga.
Pendidikan Agama Islam harus dihubungkan dengan menghindarkan diri dari perubahan yang berbeda dan perubahan-perubahan kemasyarakatan yang tidak baik dan mencoba memobilisasikan kekuatan agar mengacu kepada tuntutan cita-cita yang berlaku bagi masa mendatang.[9]  Sedangkan Ahmad Tafsir  memiliki pandangan lain tentang tujuan pendidikan Agama Islam, yaitu terbinanya manusia terbaik, dengan 3  karakter:
Pertama, berbadan sehat serta kuat. Artinya memiliki kemampuan otot yang baik serta tidak berpenyakit. Kedua, Memiliki otak cerdas serta pandai. Kecerdasan seseorang dapat dilihat dari kemampuannya menyelesaikan masalahnya dengan berbagai keterampilan yang ia miliki. Ketiga, beriman kuat. Beberapa persoalan yang orang hadapi tidak hanya mengandalkan keterampilan yang dimiliki. Ada masanya manusia bertemu masalah yang tak mampu dirasionalkan. Pada bagian inilah iman seseorang berperan.[10]

 

PENERAPAN PENDIDIKAN ISLAM DALAM KELUARGA

Keluarga ODHA tak ubahnya keluarga-keluarga lain. Mereka menjalani kehidupan normal. Anak-anak mereka belajar seperti anak-anak lainnya. Yang membedakan adalah interaksi yang terjalin dengan anak-anaknya ketika berada dirumah beliau. Penulis mencoba mengungkap bagaimana pandangan Ibu Nia dan Pak Mu’in mengenai pendidikan Islam dalam keluarga masing-masing. Jawaban keduanya serupa namun memiliki ciri khas masing-masing.
Pendidikan Islam dikembangkan menyangkut pada empat aspek utama  yakni pendidikan Ibadah, pendidikan nilai dan pengajaran Al-qur’an, pendidikan akhlaqul karimah, dan pendidikan aqidah Islamiyah.[11] Penanaman keempat aspek tersebut sangat penting. Tujuan utamanya adalah membentuk pribadi muslim paripurna yang berakhlak mulia dan bertakwa kepada Allah.
Ibu Nia secara personal selalu menanamkan nilai-nilai pendidikan Islam bahkan dari sebelum dirinya tahu terjangkit HIV. Hal ini mungkin terjadi karena memang latar belakang keluarga Ibu Nia yang terbilang baik dan sangat kental keislamannya. Disamping itu beliau senantiasa mendorong anaknya untuk mengikuti kegiatan keagamaan di lingkungannya.
Setelah Ibu Nia mengetahui bahwa dirinya terpapar virus, tidak banyak yang berubah. Hanya pandangan tentang pendidikan Islam yang semula biasa-biasa saja dianggap menjadi lebih penting. Sehingga beliau semakin gencar membentengi anaknya dengan nilai nilai Islam yang luhur. Ibu Nia selalu menggantungkan cita-cita dan harapan yang tinggi agar anaknya kelak menjadi anak yang berguna. Dan dari semua hal yang ia cita-citakan hanya harapan semoga anaknya menjadi anak yang shaleh yang dekat dengan Allah swt, dan menjadi muslim yang sempurna.
Tidak berbeda jauh dengan Ibu Nia, Pak Mu’in sebagai seorang kepala keluarga juga merasakan harapan yang besar bagi anak-anaknya. Perbedaan yang terlihat adalah mengenai pendidikan Islam. Perubahan besar terjadi setelah Pak Mu’in mengetahui terinfeksi virus. Semula Ia bahkan tidak mengenal Alqurán. Seolah menjadi hidayah virus HIV membawa dirinya pada kehidupan yang lebih baik. Saat ini Ia mengaku tidak pernah melewatkan shalat lima waktu.
Bagi Pak Mu’in penting bagi anak-anaknya untuk mendapatkan pendidikan Islam sejak dini. Selain sebagai bekal di akhirat nanti beliau juga memiliki harapan agar Allah menjauhkan keluarganya dari sifat-sifat seperti dirinya dulu. Meskipun dalam praktiknya beliau tidak memberikan pendidikan Islam secara personal kepada anak-anaknya. Melainkan pada guru ngaji di sekitar rumahnya.
Interaksi antara orang tua dan anak ini penting mengingat penerapan konsep membutuhkan interaksi yang baik sebagai bagian dari proses mendidik, membimbing, dan mengajari. Demi mencapai hasil yang maksimal seharusnya proses interaksi tersebut berjalan secara simultan.[12] Ketika ditanyai bagaimana interaksi dengan anak ketika berada di rumah, keduanya memiliki cara  berinteraksi yang berbeda.
Ibu Nia sebagai seorang Ibu dan orang tua tunggal cenderung lebih protektif pada anaknya. Tak jarang dalam mendidik anak terutama dari segi akhlak Ibu Nia mewanti-wanti anaknya agar selalu bersikap baik dan menjauhkan diri dari pengaruh buruk. Ibu Nia tak segan mencontohkan dirinya sebagai perbandingan. Dengan hal tersebut beliau bermaksud mengemukakan bahkan dengan pergaulan dan akhlak yang baik belum tentu terbebas dari imbas pergaulan bebas. Apalagi jika  moral  tidak  terpelihara  oleh  akhlak  karimah,  tentu  lebih  besar risikonya.
Memang dalam pendidikan Islam terutama akhlak tidak hanya dikemukakan secara teoritik, melainkan diimbangi dengan contoh konkret untuk dihayati maknanya.[13]
Dalam keluarga Pak Mu’in lebih mengandalkan orang lain dalam mendidik anak-anaknya, yaitu istrinya. Secara umum Pak Mu’in sangat jarang mengutarakan pikirannya pada keluarganya. Satu-satunya orang yang bisa  menjadi “andalan” Pak Mu’in adalah istrinya. Hal ini bisa jadi karena perasaan mendiskriminasi diri akibat rasa bersalah seperti yang telah di bahas sebelumnya. Perasaan tidak pantas untuk mendidik dan menceramahi karena bekaca pada pengalaman kelamnya.
Di samping harapan dan usaha yang dilakukan, keduanya tentu menemukan kendala dalam mengimplementasikan nilai-nilai Islam pada keluarganya. Secara eksplisit keduanya hampir sama bergantung pada kehidupan sosial dalam keluarganya. Baik Ibu Nia maupun Pak Mu’in sama-sama meyakini kendala yang terjadi tidak hanya dalam dimensi internal keluarga namun juga dimensi eksternal.
Dimensi internal yang terjadi terutama pada Pak Mu’in adalah perasaan bahwa dirinya tidak layak mendidik dan telah gagal sebagai orang tua. Sedikit berbeda dengan Ibu Nia yang optimis namun merasa bahwa keilmuannya tidak cukup. Sedangkan Dimensi eksternal yang dimaksud adalah diskriminasi lingkungan pada ODHA sehingga berimbas pada keluarga. Seperti penuturan Kang Dian memang Diskriminasi masih kerap terjadi di dalam masyarakat terutama bagi mereka yang kurang tahu tentang HIV/AIDS. Sehingga tak jarang orang memandang miring pada ODHA.
Dalam menanggapi kendala dimensi internal ODHA dapat menggunakan alternatif solusi seperti yang dilakukan Ibu Nia dan Pak Mu’in, yaitu mempercayakan pendidikan anak-anaknya pada lembaga pendidikan tertentu. Namun hal yang mesti di garis bawahi adalah masalah keterbukaan dan interaksi dengan anak.
Yang menjadi masalah dan perlu segera di lakukan pembenahan adalah mengenai diskriminasi masyarakat terhadap ODHA yang dewasa ini masih sering terjadi. Selain usaha pendekatan yang baik oleh ODHA sendiri, perlu adanya sosialisasi pada masyarakat sehingga perlakuan diskriminatif bisa di tekan seminim mungkin.
Terlepas dari segala kendala yang ada sejatinya ODHA beranggapan bahwa sangat penting membimbing anak-anaknya dengan bimbingan pendidikan Islam yang baik. Hal tersebut tentu dengan harapan bisa menjadi alternatif solusi dari bayang-bayang pergaulan bebas dan menjauhkan anak-anaknya dari pengalaman pahit yang mereka alami saat ini, sehingga menjadi versi terbaik dari dirinya sebagai muslim dan sebagai manusia. Senada dengan konsep pendidikan Islam yang di sampaikan oleh Ahmad Tafsir, bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan terhadap seseorang agar dia menjadi muslim semaksimal mungkin.

 

SIMPULAN

Konsep pendidikan Islam dalam keluarga ODHA sebenarnya tidak berbeda jauh dengan konsep pendidikan Islam di keluarga yang lain. Hanya saja ODHA seringkali mendiskriminasi diri dengan pandangan negatif bahwa dirinya tidak layak untuk mendidik anak-anaknya secara personal. Baik karena rasa  bersalahnya atau karena ketidakmampuannya. Sehingga dengan  pemikiran terbuka menyerahkan proses pendidikan Islam pada Orang yang dianggap lebih mampu.
Harapannya dengan pendidikan Islam yang baik mampu membentengi iman anak-anaknya sehingga tidak terjebak pergaulan bebas. Disamping itu terdapat kendala dari dimensi eksternal ODHA, yaitu perlakuan diskriminatif dari masyarakat. Hal ini semestinya dapat ditekan dengan sosialisasi yang baik pada masyarakat tentang HIV/AIDS.
Terlepas dari semua perdebatan tentang HIV/AIDS. Ibu Nia dan Bapak Mu’in adalah contoh ODHA yang menganggap penting pendidikan Islam sebagai alternatif  solusi  penanggulangan  HIV/AIDS.  Karena  dengan  membentengi diri dengan pendidikan Islam yang baik sedari dini, besar harapan bagi anak untuk melanjutkan kehidupan yang lebih baik.

 

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Abdurrahman Saleh. 2007. Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al- Qur’an. Cet ke-4. PT. Rineka Cipta. Jakarta.
Arikunto,  Suharsimi.  Manajemen  Penelitian.  2013.  Cet  ke-12.  Rineka   Cipta. Jakarta.
Basrowi  dan  Suwandi.  2008.  Memahami  Penelitian  Kualitatif.  Rineka   Cipta. Jakarta.
Germer, C. K. 2009. The Mindful Path to Self-Compassion. The Guilford Press. United State of America.
Mulyana, Deddy dan Solatun. 2007. Metode Penelitian Komunikasi. Remaja Rosdakarya. Bandung.
Nata, Abuddin. Kapita Selekta Pendidikan Islam. 2003. Percetakan Angkasa: Bandung
Satori, Djam’an  dan Aan Komariah. 2013. Metodologi Penelitian Kualitatif.  Cet. 5. Alfabeta. Bandung.
Tafsir, Ahmad. 2011. Metodologi Pengajaran Agama Islam. Cet ke-11. PT. Remaja  Rosdakarya. Bandung.

Tafsir, Ahmad..   2014.   Filsafat   Pendidikan   Islami.   Cet   ke-4.   PT.   Remaja Rosdakarya. Bandung.



[1] Djam’an Satori dan Aan Komariah, Metodologi Penelitian Kualitatif. (Alfabeta: Bandung. 2013). hlm. 22
[2] Basrowi & Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif. (Rineka Cipta: Jakarta. 2008) hlm. 21
[3] Deddy Mulyana dan Solatun, Metode Penelitian Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), hal. 91
[4] Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian. (Jakarta: Rineka Cipta 2013), hlm. 97
[5] Germer, C. K. The Mindful Path To Self-Compassion. (United State of America: The Guilford Press. 2009). hlm. 28
[6] Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Percetakan Angkasa: Bandung, 2003). hlm. 58-59
[7] Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011) hlm. 5-6
[8] Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Percetakan Angkasa: Bandung, 2003). hlm. 12-13
[9] Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an. (PT. Rineka Cipta: Jakarta. 2007). hlm. 153
[10] Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami, (PT Remaja Rosdakarya: Bandung. 2014). hlm. 79-80 11 Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Percetakan Angkasa: Bandung, 2003). hlm. 219
[11]Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Percetakan Angkasa: Bandung, 2003). hlm. 219 
[12] Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Percetakan Angkasa: Bandung, 2003). hlm. 173
[13] Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Percetakan Angkasa: Bandung, 2003). hlm. 278