KONSEP PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA KELUARGA ORANG
DENGAN HIV/AIDS
(Studi
Fenomenologi Pada Keluarga ODHA di Sukabumi)
Oleh:
Ade Nurpriatna, M.Ud.
ABSTRAK
ODHA adalah
singkatan dari Orang Dengan HIV-AIDS. Selama kurun waktu lima dekade terakhir, HIV-AIDS telah menjadi
masalah global. Di tengah-tengah masyarakat ataupun keluarga, banyak penelitian
menunjukkan bahwa ODHA sering mendapat stigma negatif dan diskriminasi.
Pendidikan Agama Islam yaitu Bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada
seseorang agar dia dapat berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam.
Tujuan dari penelitian dengan judul “Konsep Pendidikan Agama Islam Pada
Keluarga Orang Dengan HIV/AIDS (Studi Fenomenologi Pada Keluarga ODHA)” ini
adalah untuk mengetahui pengembangan konsep pendidikan Agama Islam dalam
keluarga ODHA dan juga untuk mengetahui implikasinya terhadap keberadaannya
dalam sistem penanggulangan HIV. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif
dengan pendekatan fenomenologi yang mencoba menggali konsep pendidikan Agama
Islam ODHA sebagai kelompok yang terpinggirkan secara sosial. Strategi yang
digunakan adalah studi kasus dari dua orang ODHA, Ibu Nia dan Bapak Mu’in. Data
dikumpulkan dengan wawancara mendalam dan observasi baik dari ODHA maupun
orang-orang terdekatnya dan juga para ahli dalam bidang HIV-AIDS sebagai
triangulasi. Total informan dalam penelitian ini adalah 4 orang. Dari
penelitian ini ditemukan bahwa (1) Ibu Nia dan Bapak Mu’in sama-sama menerapkan
pendidikan Agama Islam pada keluarganya (2) Faktor yang mempengaruhi penerapan
pendidikan Agama Islam pada keluarga Ibu Nia dan Pak Mu’in adalah keinginan kuat agar
keluarganya terhindar dari imbas pergaulan bebas.
Kata
Kunci: ODHA, Pendidikan Agama Islam
PENDAHULUAN
HIV/AIDS dalam
era globalisasi ini merupakan isu yang mendunia. Permasahalan ini menjadi
epidemi berkepanjangan di seluruh dunia selama kurun waktu 60-70 tahun
belakangan. Virus HIV tersebar tidak hanya pada orang-orang yang cenderung
dekat dengan seks bebas dan pengguna obat-obat terlarang, namun dapat mengenai
siapapun, termasuk orang dengan latar belakang baik bahkan hingga petugas kesehatan.
Pandangan
masyarakat tentang “penyakit yang tidak dapat disembuhkan” yang melekat pada
penderita AIDS, menjadikan AIDS momok menakutkan. Dampak epidemi ini tidak
hanya terbatas pada diri ODHA, tetapi menjadi permasalahan dalam setiap aspek
kehidupan masyarakat termasuk dalam tatanan pemerintahan bahkan hingga politik
dan ekonomi negara. Selain itu dampak
paling signifikan tentu berimbas kepadadiri ODHA, tidak hanya sebagai
individu namun juga sebagai bagian dari keluarga dan masyarakat.
Di sisi lain
Agama Islam beserta ajaran-ajaran yang di bawa nabi Muhammad datang sebagai
rahmat bagi alam semesta. Esensi dari Pendidikan Agama Islam adalah membimbing
manusia menuju “versi” terbaik dirinya. Nilai- nilai yang terkandung di
dalamnya banyak berupa seruan meninggalkan hal-hal bathil. Yang mana hal
“bathil” tersebut bisa jadi merupakan penyebab orang lain terpapar virus HIV
ini.
Stigma yang
kental melekat di masyarakat adalah kurangnya pendidikan keagamaan pada
penderita HIV yang menyebabkan penderita tertular. Tidak sedikit pula yang
menyangsikan pendidikan Agama pada keluarga ODHA. Padahal tidak semua ODHA
memiliki latar belakang pendidikan keagamaan yang tidak baik. Tidak sedikit
ODHA berasal dari lingkungan dan latar belakang pendidikan keagamaan baik namun
tetap terjangkit virus mematikan ini. Bahkan lebih ironis lagi ada seorang
ustadz yang notabene terkenal baik juga terjangkit HIV.
Sebagai upaya
memproteksi keluarga terutama anak-anaknya dari bahaya penularan virus
ini, ODHA menanamkan
nilai-nilai keagamaan pada keluarga sedari dini. Hal tersebut dilakukan dengan harapan keturunan ODHA
hidup dengan baik dan mendapat tempat yang baik pula di masyarakat. Terlepas
dari berbagai pandangan miring yang melekat pada diri ODHA. Berdasarkan latar
belakang tersebut penulis merasa hal ini menarik untuk dikupas lebih dalam.
BAHAN DAN METODE
Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode kualitatif
adalah penelitian yang menekankan pada quality atau hal yang terpenting dari
sifat suatu gejala sosial dan makna dibalik kejadian tersebut dapat dapat
dijadikan pelajaran berharga bagi suatu pengembangan konsep teori.
Istilah penelitian kualitatif dimaksudkan sebagai
jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur
statistic atau bentuk hitungan lain. Contohnya dapat berupa penelitian tentang
kehidupan, riwayat, dan perilaku seseorang, peranan organisasi, gerakan sosial
atau hubungan timbal-balik.
Selain itu
penulis juga menggunakan model fenomenologi. Menurut Littlejohn (dalam Deddy
& Solatun: 2007) menjelaskan bahwa fenomenologi berarti membiarkan segala
sesuatu menjadi nyata sebagaimana aslinya, tanpa memaksa kategori-kategori
peneliti terhadapnya.
Fenomenologi merupakan cara yang digunakan untuk
memahami dunia melalui pengalaman langsung.
Jumlah informan
dalam penelitian ini adalah 2 kepala keluarga yang terjangkit virus HIV dan
petugas Komisi Penanggulangan AIDS Sukabumi sebagai informan pendukung. Teknik
pengambilan informan dalam penelitian ini diambil berdasarkan
purposive samping.
Menurut Suharsimi Arikunto
purposive sampling dilakukan dengan cara
mengambil subjek bukan berdasarkankan strata, random atau daerah tetapi
didasarkan atas adanya tujuan tertentu.
Teknik ini biasanya dilakukan karena beberapa
pertimbangan, misalnya alasan keterbatasan waktu,
tenaga
dan
dana
sehingga
tidak
mengambil
sampel
yang
besar
dan
jauh.
Data primer diperoleh dengan melakukan
wawancara mendalam. Sedangkan data sekunder adalah data profil tempat
penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN KEHIDUPAN SOSIAL ODHA
Beberapa faktor sangat determinan
dalam penerapan konsep pendidikan dalam keluarga. Salah satunya adalah faktor
lingkungan dan kehidupan sosial seseorang, baik sebagai seorang individu maupun
bagian dari masyarakat. Dalam hal ini sangat penting mengetahui kehidupan
sosial seorang penderita HIV.
Hidup dengan
HIV/AIDS memang pada kenyataannya sulit dan menyedihkan. Menerima kenyataan
mengidap suatu virus yang tak bisa disembuhkan bukan hal bisa dianggap
biasa-biasa saja, terutama secara
psikologis. Resiko mendapat perlakuan diskriminatif dari masyarakat
membuat ODHA tak jarang menyembunyikan status yang dimilikinya. Belum lagi
proses penerimaan diri sendiri yang tentu tidak mudah dan membutuhkan waktu
yang lama.
Proses seorang
individu untuk dapat menerima dirinya tidak dapat muncul begitu saja, melainkan
terjadi melalui serangkaian proses secara bertahap. Menurut Germer (2009),
tahapan penerimaan diri terjadi dalam 5 fase, antara lain:
Pertama,
penghindaran (Aversion) merupakan reaksi naluriah seorang individu jika
dihadapkan dengan perasaan tidak menyenangkan. Bentuk penghindaran tersebut
dapat terjadi dalam beberapa cara, dengan melakukan pertahanan, perlawanan,
atau perenungan.
Kedua,
keingintahuan (Curiosity) Setelah melewati masa aversion, individu
akan mengalami adanya rasa penasaran terhadap permasalahan dan situasi yang
mereka hadapi sehingga mereka ingin mempelajari lebih lanjut mengenai
permasalahannya tersebut walaupun hal tersebut membuat mereka merasa cemas.
Ketiga,
toleransi (Tolerance) Pada tahap ketiga ini, individu akan menahan
perasaan tidak menyenangkan yang mereka rasakan sambil berharap hal tersebut
akan hilang dengan sendirinya.
Keempat,
membiarkan (Allowing) Setelah melalui proses bertahan akan perasaan
tidak menyenangkan telah selesai, individu akan mulai membiarkan perasaan
tersebut datang dan pergi begitu saja. Individu secara terbuka membiarkan
perasaan itu mengalir dengan sendirinya.
Kelima,
persahabatan (
Friendship) Seiring dengan berjalannya waktu, individu
akan mulai bangkit dari perasaan tidak menyenangkan tadi dan mencoba untuk
dapat memberi penilaian atas kesulitan tersebut. Bukan berarti ia merasakan
kemarahan, melainkan individu dapat merasa bersyukur atas manfaat yang
didapatkan berdasarkan situasi ataupun emosi yang hadir.
Hal ini sejalan
dengan apa yang diutarkan oleh informan 1 dan 2 ketika penulis temui di
kediamannya. Sebut saja namanya Ibu Nia dan Pak Mu’in. kedua informan yang
penulis datangi memiliki latar belakang yang sama sekali berbeda satu dengan
yang lainnya.
Ibu Nia merupakan
seorang ibu rumah tangga berusia 40 tahun dan sudah 5 tahun mengetahui dirinya
terinfeksi virus HIV. Sebelum terinfeksi HIV beliau memiliki latar belakang
keluarga yang sangat baik dan taat agama. Ibu Nia terinfeksi virus HIV dari
suaminya yang merupakan seorang pengguna narkoba suntik “penasun”. Hal ini
menjadi bukti tak terbantahkan bahwa tidak semua penderita HIV memiliki latar
belakang yang buruk. Dan setiap orang bahkan dari pergaulan yang baik pun tidak
luput dari bahaya virus mematikan ini.
Pak Mu’in dahulu
adalah seorang penasun selama kurang lebih 10 tahun. Pak Mu’in telah mengalami
masa rehabilitasi di salah satu LSM yang menangani masalah Narkoba di kota
Sukabumi. Beliau adalah peribadi yang tertutup, sehingga tidak bebas
mengungkapkan pendapat bahkan dalam keluarganya sekalipun. Pak Mu’in mengetahui
bahwa dirinya terjangkit virus HIV sejak tahun 2015 silam.
Keduanya memiliki
permasalahan yang sama ketika dihadapkan dengan keadaan yang sulit. Sebelum menerima kenyataan
keduanya merasakan penyesalan dan
kejadian yang menerima mereka. Hingga akhirnya menerima dan “bersahabat” dengan
pengalaman
pahit hingga saat ini.
Setelah ODHA
secara sadar menerima keadaan yang menimpa dirinya, mereka dihadapkan dengan
diskriminasi yang terjadi dalam masyarakat. Menurut Kang Dian informan ke-3
penulis sekaligus seorang komsioner di Komisi Penanggulangan AIDS, dewasa ini
masih terjadi banyak diskriminasi sosial pada ODHA. Secara tidak langsung hal
tersebut memberi efek pada psikologi ODHA. Salah satunya adalah diskriminasi
diri sendiri. Perasaan mendiskriminasi diri sendiri berasal dari
pandangan-pandangan negatif yang akhirnya membelenggu ODHA dalam melaksanakan
keinginannya. Menurut Kang Dian pandangan diskriminasi pada diri sendiri muncul
akibat bayang-bayang masa lalu dan rasa bersalah pada diri sendiri. Hal ini
terjadi pada diri Pak Mu’in. Selain mendiskriminasi diri Pak Mu’in juga
memiliki kepribadian tertutup.
Sedangkan disisi
lain Ibu Nia memiliki optimistis dan percaya diri tinggi. meskipun dalam
beberapa hal beliau sering kali mendiskriminasi dirinya terutama pada hal yang
berkaitan dengan keluarga. Beliau tetap terbuka dan tidak malu- malu dengan
identtitas “baru”-nya sebagai ODHA. Dengan senantiasa berusaha melakukan yang
terbaik yang Ia bisa hari ini. Bahkan turut menjadi relawan konseling sebaya di
salah satu LSM di Kota Sukabumi dengan memberi dukungan pada penderita yang
baru mengtahui terjangkit HIV.
Kedua ODHA yang
menjadi informan penulis memiliki kehidupan sosial yang berbeda. Ibu Nia dengan
optimismenya sedangkan Pak Mu’in dengan kepribadian tertutupnya. Hal tersebut
mengindikasikan perbedaan kehidupan
sosial pasca menjadi ODHA mungkin terjadi karena perbedaan latar
belakang yang dimiliki keduanya.
PENDIDIKAN ISLAM
Secara umum
pemaknaan pendidikan Islam berputar pada tiga sudut pandang:
Pertama, pendidikan
keagamaan.
Kedua, Pendidikan dalam Islam.
Ketiga, pendidikan
menurut Islam. Ketiganya memiliki perbedaan yang signifikan dan
“menelurkan”
disiplin
ilmu
yang berbeda-beda.
Penegasan
makna di
antara
ketiganya harus diperhatikan. Berkenaan
dengan hal tersebut, yang dimaksud dengan Pendidikan Islam adalah konsep yang
pertama.
6
Secara definitif
setiap pakar ilmu pendidikan memiliki penafsiran yang berbeda mengenai makna
dari pendidikan. Hal ini karena para ahli menemui kesulitan yang disebabkan
oleh banyaknya jenis kegiatan dan luasnya aspek kepribadian yang harus dibina
oleh pendidikan. Dalam mencari definisi pendidikan tergantung dari sudut
pandang mana ahli mengartikannya. Namun Ahmad Tafsir berpendapat bahwa
pendidikan adalah usaha meningkatkan diri dari segala aspek
kepribadian.
7
Abuddin Nata
memperlua pengertian tersebut dalam 3 dimensi:
Pertama, Pendidikan Islam
menyangkut aspek jasmani dan rohani.
Kedua, Pendidikan
Islam berlandaskan pada nilai-nilai
religious.
Ketiga, Pendidikan Islam bertujuan membentuk ketakwaan. Dari
ketiganya dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan yang diberikan
oleh seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran
Islam.
Berdasarkan kedua
pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa, pendidikan Islam adalah proses
membimbing terhadap seseorang yang bersifat progresif dan seoptimal mungkin
dalam membentuk muslim ideal. Artinya dengan pendidikan seharusnya seseorang
bisa mencapai versi terbaik dirinya dengan dukungan pendidik yang
membimbingnya. Dan kata “pendidik” tidak hanya terpaku pada wujud guru
melainkan bisa juga keluarga.
Pendidikan Agama
Islam harus dihubungkan dengan menghindarkan diri dari perubahan yang berbeda
dan perubahan-perubahan kemasyarakatan yang tidak baik dan mencoba
memobilisasikan kekuatan agar mengacu kepada tuntutan cita-cita yang berlaku
bagi masa mendatang.
Sedangkan
Ahmad Tafsir
memiliki
pandangan lain tentang
tujuan pendidikan Agama Islam, yaitu terbinanya manusia terbaik, dengan
3
karakter:
Pertama, berbadan
sehat serta kuat. Artinya memiliki kemampuan otot yang baik serta tidak
berpenyakit.
Kedua, Memiliki otak cerdas serta pandai. Kecerdasan
seseorang dapat dilihat dari kemampuannya menyelesaikan masalahnya dengan
berbagai keterampilan yang ia miliki.
Ketiga, beriman kuat. Beberapa
persoalan yang orang hadapi tidak hanya mengandalkan keterampilan yang dimiliki.
Ada masanya manusia bertemu masalah yang tak mampu dirasionalkan. Pada bagian
inilah iman seseorang berperan.
PENERAPAN PENDIDIKAN ISLAM DALAM KELUARGA
Keluarga ODHA tak
ubahnya keluarga-keluarga lain. Mereka menjalani kehidupan normal. Anak-anak
mereka belajar seperti anak-anak lainnya. Yang membedakan adalah interaksi yang
terjalin dengan anak-anaknya ketika berada dirumah beliau. Penulis mencoba
mengungkap bagaimana pandangan Ibu Nia dan Pak Mu’in mengenai pendidikan Islam
dalam keluarga masing-masing. Jawaban keduanya serupa namun memiliki ciri khas
masing-masing.
Pendidikan Islam
dikembangkan menyangkut pada empat aspek utama
yakni pendidikan Ibadah, pendidikan nilai dan pengajaran Al-qur’an,
pendidikan akhlaqul karimah, dan pendidikan aqidah Islamiyah.
Penanaman keempat aspek tersebut sangat penting.
Tujuan utamanya adalah membentuk pribadi muslim paripurna yang berakhlak mulia
dan bertakwa kepada
Allah.
Ibu Nia secara
personal selalu menanamkan nilai-nilai pendidikan Islam bahkan dari sebelum
dirinya tahu terjangkit HIV. Hal ini mungkin terjadi karena memang latar
belakang keluarga Ibu Nia yang terbilang baik dan sangat kental keislamannya.
Disamping itu beliau senantiasa mendorong anaknya untuk mengikuti kegiatan
keagamaan di lingkungannya.
Setelah Ibu Nia
mengetahui bahwa dirinya terpapar virus, tidak banyak yang berubah. Hanya
pandangan tentang pendidikan Islam yang semula biasa-biasa saja dianggap menjadi lebih penting. Sehingga
beliau semakin gencar membentengi anaknya dengan nilai nilai Islam yang luhur.
Ibu Nia selalu menggantungkan cita-cita dan harapan yang tinggi agar anaknya
kelak menjadi anak yang berguna. Dan dari semua hal yang ia cita-citakan hanya
harapan semoga anaknya menjadi anak yang shaleh yang dekat dengan Allah swt,
dan menjadi muslim yang sempurna.
Tidak berbeda
jauh dengan Ibu Nia, Pak Mu’in sebagai seorang kepala keluarga juga merasakan
harapan yang besar bagi anak-anaknya. Perbedaan yang terlihat adalah mengenai
pendidikan Islam. Perubahan besar terjadi setelah Pak Mu’in mengetahui
terinfeksi virus. Semula Ia bahkan tidak mengenal Alqurán. Seolah menjadi hidayah virus HIV
membawa dirinya pada kehidupan yang lebih baik. Saat ini Ia mengaku tidak
pernah melewatkan shalat lima waktu.
Bagi Pak Mu’in
penting bagi anak-anaknya untuk mendapatkan pendidikan Islam sejak dini. Selain
sebagai bekal di akhirat nanti beliau juga memiliki harapan agar Allah
menjauhkan keluarganya dari sifat-sifat seperti dirinya dulu. Meskipun dalam
praktiknya beliau tidak memberikan pendidikan Islam secara personal kepada
anak-anaknya. Melainkan pada guru ngaji di sekitar rumahnya.
Interaksi antara
orang tua dan anak ini penting mengingat penerapan konsep membutuhkan interaksi
yang baik sebagai bagian dari proses mendidik, membimbing, dan mengajari. Demi
mencapai hasil yang maksimal seharusnya proses interaksi tersebut berjalan
secara simultan.
Ketika ditanyai bagaimana interaksi dengan
anak ketika berada di rumah, keduanya memiliki cara
berinteraksi yang
berbeda.
Ibu Nia sebagai
seorang Ibu dan orang tua tunggal cenderung lebih protektif pada anaknya. Tak
jarang dalam mendidik anak terutama dari segi akhlak Ibu Nia mewanti-wanti
anaknya agar selalu bersikap baik dan menjauhkan diri dari pengaruh buruk. Ibu
Nia tak segan mencontohkan dirinya sebagai perbandingan. Dengan hal tersebut
beliau bermaksud mengemukakan bahkan dengan pergaulan dan akhlak yang baik
belum tentu terbebas dari imbas pergaulan bebas. Apalagi jika moral
tidak terpelihara oleh
akhlak karimah, tentu
lebih besar risikonya.
Memang dalam
pendidikan Islam terutama akhlak tidak hanya dikemukakan secara teoritik,
melainkan diimbangi dengan contoh konkret untuk dihayati maknanya.
Dalam keluarga
Pak Mu’in lebih mengandalkan orang lain dalam mendidik anak-anaknya, yaitu istrinya.
Secara umum Pak Mu’in sangat jarang mengutarakan pikirannya pada keluarganya.
Satu-satunya orang yang bisa menjadi
“andalan” Pak Mu’in adalah istrinya. Hal ini bisa jadi karena perasaan
mendiskriminasi diri akibat rasa bersalah seperti yang telah di bahas
sebelumnya. Perasaan tidak pantas untuk mendidik dan menceramahi karena bekaca
pada pengalaman kelamnya.
Di samping harapan dan usaha yang dilakukan,
keduanya tentu menemukan kendala dalam mengimplementasikan nilai-nilai Islam
pada keluarganya. Secara eksplisit
keduanya hampir sama bergantung pada kehidupan
sosial dalam keluarganya. Baik
Ibu Nia maupun Pak Mu’in sama-sama meyakini
kendala yang terjadi tidak hanya dalam dimensi internal keluarga namun
juga dimensi eksternal.
Dimensi internal
yang terjadi terutama pada Pak Mu’in adalah perasaan bahwa dirinya tidak layak
mendidik dan telah gagal sebagai orang tua. Sedikit berbeda dengan Ibu Nia yang
optimis namun merasa bahwa keilmuannya tidak cukup. Sedangkan Dimensi eksternal
yang dimaksud adalah diskriminasi lingkungan pada ODHA sehingga berimbas pada
keluarga. Seperti penuturan Kang Dian memang Diskriminasi masih kerap terjadi
di dalam masyarakat terutama bagi mereka yang kurang tahu tentang HIV/AIDS.
Sehingga tak jarang orang memandang miring pada ODHA.
Dalam menanggapi
kendala dimensi internal ODHA dapat menggunakan alternatif solusi seperti yang
dilakukan Ibu Nia dan Pak Mu’in, yaitu mempercayakan pendidikan anak-anaknya
pada lembaga pendidikan tertentu. Namun hal yang mesti di garis bawahi adalah
masalah keterbukaan dan interaksi dengan anak.
Yang menjadi
masalah dan perlu segera di lakukan pembenahan adalah mengenai diskriminasi
masyarakat terhadap ODHA yang dewasa ini masih sering terjadi. Selain usaha
pendekatan yang baik oleh ODHA sendiri, perlu adanya sosialisasi pada
masyarakat sehingga perlakuan diskriminatif bisa di tekan seminim mungkin.
Terlepas dari
segala kendala yang ada sejatinya ODHA beranggapan bahwa sangat penting
membimbing anak-anaknya dengan bimbingan pendidikan Islam yang baik. Hal
tersebut tentu dengan harapan bisa menjadi alternatif solusi dari bayang-bayang
pergaulan bebas dan menjauhkan anak-anaknya dari pengalaman pahit yang mereka
alami saat ini, sehingga menjadi versi terbaik dari dirinya sebagai muslim dan
sebagai manusia. Senada dengan konsep pendidikan Islam yang di sampaikan oleh
Ahmad Tafsir, bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan terhadap seseorang agar
dia menjadi muslim semaksimal mungkin.
SIMPULAN
Konsep pendidikan
Islam dalam keluarga ODHA sebenarnya tidak berbeda jauh dengan konsep
pendidikan Islam di keluarga yang lain. Hanya saja ODHA seringkali
mendiskriminasi diri dengan pandangan negatif bahwa dirinya tidak layak untuk
mendidik anak-anaknya secara personal. Baik karena rasa bersalahnya atau karena ketidakmampuannya.
Sehingga dengan pemikiran terbuka
menyerahkan proses pendidikan Islam pada Orang yang dianggap lebih mampu.
Harapannya dengan
pendidikan Islam yang baik mampu membentengi iman anak-anaknya sehingga tidak
terjebak pergaulan bebas. Disamping itu terdapat kendala dari dimensi eksternal
ODHA, yaitu perlakuan diskriminatif dari masyarakat. Hal ini semestinya dapat
ditekan dengan sosialisasi yang baik pada masyarakat tentang HIV/AIDS.
Terlepas dari
semua perdebatan tentang HIV/AIDS. Ibu Nia dan Bapak Mu’in adalah contoh ODHA
yang menganggap penting pendidikan Islam sebagai alternatif solusi
penanggulangan HIV/AIDS. Karena
dengan membentengi diri dengan pendidikan Islam yang baik
sedari dini, besar harapan bagi anak untuk melanjutkan kehidupan yang lebih
baik.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abdurrahman Saleh. 2007. Teori-teori Pendidikan
Berdasarkan Al- Qur’an. Cet ke-4. PT. Rineka Cipta. Jakarta.
Arikunto, Suharsimi.
Manajemen Penelitian. 2013.
Cet ke-12. Rineka
Cipta. Jakarta.
Basrowi dan
Suwandi. 2008. Memahami
Penelitian Kualitatif. Rineka
Cipta. Jakarta.
Germer, C.
K. 2009. The Mindful Path to Self-Compassion. The Guilford Press. United State of America.
Mulyana, Deddy dan Solatun. 2007. Metode Penelitian Komunikasi.
Remaja Rosdakarya. Bandung.
Nata,
Abuddin. Kapita Selekta Pendidikan Islam. 2003. Percetakan Angkasa:
Bandung
Satori,
Djam’an dan Aan Komariah. 2013. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Cet. 5. Alfabeta. Bandung.
Tafsir,
Ahmad. 2011. Metodologi Pengajaran
Agama Islam. Cet ke-11. PT. Remaja Rosdakarya.
Bandung.
Tafsir,
Ahmad.. 2014. Filsafat
Pendidikan Islami. Cet
ke-4. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.