Jumat, 19 Oktober 2018

KAIDAH KESHAHIHAN ISNAD DAN KELEMAHNNYA

KAIDAH KESHAHIHAN ISNAD DAN KELEMAHNNYA

Oleh : Ade Nurpriatna
A. Pendahuluan
Allah S.w.t. memuliakan umat Islam dengan keistimewaan yang besar yang tidak diberi kepada umat manusia selain mereka, yaitu isnad. Keistimewaan umat Islam ini merupakan jaminan Allah s.w.t  untuk menjaga sumber hukum al-Quran dan Sunnah. Tradisi “Sanad” ini adalah suatu intipati terutama dalam sistem penilaian keabsahan pesan agama sejak generasi awal Islam.
Penelitian tentang kaidah sanad merupakan kegiatan ilmiah untuk membuktikan kebenaran suatu hadis dan bagian dari upaya membenarkan yang benar dan membatalkan yang batil dalam keabsahan hadits. Umat Islam sangat besar perhatiannya dalam penelitian isnad, karena berkaitan dengan hukum yang bersumber dari  Nabi Muhammad SAW., baik berupa ucapan, perbuatan, dan ketetapan yang disandarkan kepada beliau-. Usaha ini hanya mempunyai satu tujuan, yaitu mengikuti jejak Nabi Muhammad SAW., dengan berjalan di atas sunnah beliau, dalam rangka mencapai keridlaan Allah SWT. dan mendapatkan kecintaannya.
Sudah sejak lama para para ulama berusaha memelihara peninggalan Nabi ini, dan menjaganya dari persangkaan negatif dan pemalsuan yang ternyata banyak dilakukan oleh berbagai kalangan. Usaha pemeliharaan pusaka Nabi Muhammad tersebut dimulai dengan pembukuan secara umum tentang hadis dan secara terus menerus diadakan penelitian melalui proses yang sangat ketat berdasarkan metodologi dan standart yang diciptakan secara sendiri-sendiri oleh masing-masing peneliti. Hasil usaha para ulama peneliti hadis adalah penetapan lima persyaratan keshahihan hadis Nabi; baik yang berkenan dengan sanad ataupun dengan matan.

B .  Makna Sanad dan Isnad
Kata Sanad menurut Etimologi adalah sandaran atau sesuatu yang dijadikan sandaran. Dikatakan demikian, karena setiap hadits selalu bersandar kepadanya.

المعتمد ,وسمي كدلك لان الحديث يستند اليه ويعتمد عليه
Artinya : “Sanad berarti pegangan, dikatakan demikian karena hadits disandarkan kepadanya”[1]
Adapun tentang arti sanad menurut Terminologi, terdapat perbedaan rumusan pengertian. Al-Badra bin Jama’ah dan At-Tiby mengatakan bahwa Sanad adalah : الإخبارعن طريق االمتن  “Berita tentang jalan matan”. Sebagian ulama mendefinisasikan sanad sebagai silsilah orang-orang (yang meriwayatkan hadits), yang menyampaikannya pada matan hadit, ada juga ulama yang mendifinisasikan sebagai suatu: “Silsilah para perawi yang menukilkan hadits dan sumbernya yang pertama[2]

Yang berkaitan dengan sanad, adalah kata-kata, seperti Al-Isnad, Al-Musnid dan Al-Musnad. Kata-kata ini secara terminology mempunyai arti yang cukup luas, sebagaimana yang dikembangkan oleh para ulama.
Kata Al-Isnad berarti menyandarkan, mengasalkan (mengembalikan ke asal), dan mengangkat. Maksudnya ialah menyandarkan hadits kepada orang yang mengatakannya. Menurut At-Tiby, “kata Al-Isnad dan As-Sanad digunakan oleh para ahli dengan pengertian yang sama.[3]
Kata Al Musnad mempunyai beberapa arti, bisa berarti hadits yang disandarkan atau diisnatkan oleh seseorang, bias berarti kumpulan hadits yang diriwayatkan dengan menyebutkan Sanad secara lengkap. Seperti Musnad Al-Firdaus, bisa berarti nama kitab yang menghimpun hadits-hadits dengan system penyusunan berdasarkan nama-nama para sahabat dan para perawi hadits. Seperti kitab Musnad Ahmad, tetapi bisa juga berarti nama bagi hadits yang marfu’ dan Muttasil yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW[4].

Ada beberapa istilah yang terkait dengan sanad dalam Ilmu Hadits antara lain :
  • Isnad Adalah tidak berbeda jauh dengan sanad yaitu menjelaskan jalan materi hadits (Matan) dengan meriwayatkan hadits secara musnad.
  • Musnad adalah secara harfiah berarti kata benda yang menunjukkan palaku. Sedangkan secara istillah sebagaimana pernyataan dari Mahmud At-Tahhan “ Orang yang meriwayatkan hadits dengan sanadnya, baik dia tahu tentang sanad atau tidak, maka dia sekedar meriwayatkan.”
  • Musnad adalah sesuatu yang di sandarkan kepada musnid yang bersumber dari musnid sebelumnya dan disebarkan kepada musnid selanjutnya. Dalam hal ini musnadnya adalah hadits yang disandarkan kepada rawi lain.

C. Kesahihan Isnad
Latar belakang munculnya kritik sanad hadits, adalah karena apabila kitab ini disusun hadits telah mengalami pemalsuan, sementara sanad memiliki kedudukan yang amat penting bagi hadits, sehingga untuk meneliti suatu hadits peran hadits sangat sentral, mengingat berkait dengan manusia sebagai sandaran periwayatan. Akan tetapi masalah lain timbul, persoalan apakah suatu hadits dari dan betul-betul disabdakan oleh Nabi SAW. Tentunya harus ada pembedaaan secara jelas yaitu Apakah mengingkari Muhammad SAW sebagai Rasul Allah atau meragukan apakah hadits itu benar-benar berasal darinya.
Bila mempersoalkan masalah ini, artinya hadits berada dalam lingkaran yang kedua tadi dimaksudkan sebagai sikap kritis terhadap hadits, maka hal itu bukanlah merupakakan sesuatu yang tabu. Sebab sikap seperti itu sama sekali bukan hal yang baru di kalangan para pemikir Islam.
Tujuan dari sanad itu sendiri adalah sebagai pengetatan dan sikap hati-hati dalam meriwayatkan hadits, dan dalam perkembangan terhadap sanad ini maka munculah sebuah metode atau sistem al Jarah wa al Ta’dil, yaitu, kritik terhadap rawi-rawi hadits.
Pada masa Nabi SAW, isnad itu masih bersifat sederhana, namun menjelang akhir abad pertama hijri ilmu tentang isnad ini benar-benar telah berkemban[5].
Kajian kaidah keshaihan isnad dan kelemahannya merupakan akurasi kaedah kesahihan sanad hadis diarahkan pada faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan kualitas sanad dan kualitas matan suatu hadis tertentu. Dan apabila kaedah kesahihan hadis itu sejalan dengan kritik sumber yang dikenal ilmu sejarah, maka kaedah tersebut merupakan suatu metode ilmiah yang perlu dikembangkan dalam kajian hadis yang perlu dilakukan karena ada beberapa aspek penting, yaitu :
a. Mengingat kedudukan kualitas hadis erat sekali kaitannya dengan dapat atau tidaknya suatu hadis dijadikan sebagai hujjah atau dalil agama. Dengan demikian penelusuran secara historis sesuatu yang dikatakan sebagai hadis Nabi itu, apakah benar-benar dapat dipertanggungjawabkan tingkat validitas dan akurasinya berasal dari Nabi Muhammad SAW.
b. Suatu hadis yang sanadnya sahih, tidak dengan sendirinya maka hadis itu juga berkualitas sahih. ada sebab-sebab yang lain, misalnya peluang dominan riwayat bil-makna atau peran hadis yang bersifat duniawi.
c. Kaidah kesahihan sanad hadis merupakan salah satu acuan umum yang mendasar untuk meneliti dan menentukan kualitas suatu hadis maka keadaan tersebut perlu ditelaah secara kritis. Para ulama Mutaqaddimin, yang menyatakan bahwa sanad menduduki posisi strategis dalam kualitas hadis, juga dikatakan sebagai bagian dari agama. Kajian ini diharapkan bisa dapat diketahui relevansinya antar unsur-unsur yang terdapat dalam kaedah tersebut, sehingga dibuat sebagai acuan untuk menentukan kesahihan hadis, baik dari segi sanad atau matannya[6].
d. Hadis Nabi di satu sisi merupakan fakta sejarah, dan dalam ilmu sejarah telah dikenal adanya kritik sumber, maka kaedah kesahihan sanad hadis perlu dikaji melalui pendekatan ilmu sejarah[7].
Kaidah keshahihan sanad hadits, merupakan teori yang dipergunakan untuk penelaahan unsur-unsur kaedah kesahihan sanad hadis adalah argumen-argumen naqliy, aqliy, sejarah dan ilmu sejarah, penerapaan dari argumen-argumen tersebut dikemukakan sebagai berikut :
  1. Argumen-argumen yang mendasari unsur sanad bersambung adalah sejarah, naqliy (hadis Nabi SAW) dan logika.
  2. Argumen-argumen yang mendasari unsur beragama Islam (unsur minor dari unsur periwayat bersifat adil) dalil naqliy dan aqliy (logika) atau dalil  al-badihiy (aksioma).
  3. Argumen yang mendasari unsur berstatus mukallaf (unsur minor dari periwayat bersifat adil), adalah dalil aksioma juga.
  4. Argumen yang mendasari unsur melaksanakan ketentuan agama, adalah naqliy, logika dan kejiwaan.
  5. Argumen yang mendasari unsur terhindar dari syadz dan unsur terhindar dari illat Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa dokumentasi mempunyai peranan sangat penting dalam penelitian yang berorientasi sejarah. dokumentasi di sini berarti proses pembuktian fakta sejarah, baik yang bebentuk tulisan, lisan, gambar ataupun arkeologi. Pengertian ini berarti sinonim dengan sumber, baik tertulis atau tidak, resmi atau tidak resmi, primer atau bukan primer Dilihat dari obyeknya, penelitian yang berorientasi sejarah sama dengan penelitian hadis, yaitu sama-sama meneliti sumber dengan tujuan memperoleh data yang otentik dan akurat.
Sanad hadis adalah merupakan sumber riwayat, karena didalamnya terdapat beberapa saksi, baik langsung atau tidak langsung, yang terdiri dari kalangan sahabat dan generasi-generasi beikutnya sampai perawi terakhir atau para mukharrij (kolektor hadis). Perawi dari kalangan sahabat disebut sebagai sumber primer, sedangkan generasi berikutnya disebut sebagai sumber sekunder. Keadaan yang demikian selaras dengan sumber data menurut ilmu sejarah. Dalam ilmu sejarah, yang disebut sumber primer adalah saksi mata atau indera lainnya atau alat mekanis, sedangkan sumber sekunder adalah kesaksian dari orang yang tidak hadir pada peristiwa yang disaksikannya Dilihat dari obyeknya, penelitian hadis dapat diarahkan pada dua sisi, yaitu sanad dan matan. Kritik yang ditujukan kepada sanad merupakan kritik ekstern (al-Naqd al-Kharijiy), sedang kritik yang ditujukan kepada matan merupakan kritik intern (al-Naqd al Dakhiliy). Ini juga sejalan dengan teori sejarah, yakni penelitian sumber data ditujukan kepada kritik ekstern dengan maksud membuktikan otentik tidaknya suatu dokumen, menelusuri kredibilitas pembuatnya dan asal-usul sumber. Kritik intern untuk membuktikan akurasi isi sumber, bisa diterima tidaknya sebagai fakta historis, bahasanya dan tujuannya.
Kesahihan sanad hadits yang dimaksud dengan kesahihan sanad hadits menurut Subhi Shalih dalam Noor Kholis yaitu segala syarat atau criteria yang harusdipenuhi oleh suatu sanad hadits yang berkualitas shahih[8]. Adapun criteriakesahihan sanad hadits yaitu:
a. Ittishal as sanad (sanad bersambung)
 Yaitu tiap perawi dalam sanadhadits dari perawi pertama sampai terakhir menerima riwayat haditsdari perawi sebelumnya, yaitu sahabat.
b. Perawi bersifat‘adil 
Yaitu memenuhi kriteria mukallaf, beragamaIslam, melaksanakan ketentuan agama dan memelihara muru’ah.
 c. Perawi  bersifat dhabit.
Yaitu  kuat  hafalan  atau  hafal  dengan sempurna dari awal menerima sampai meriwayatkannya kembali.
d. Terhindar syudzudz 
Yaitu suatu sanad yang tidak bertentangan dengan sanad yang lebih kuat derajatnya.
Para ulama’ berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau darisanad (kuantitas/jumlah perawi), sebagian ulama membaginya menjadi 3bagian yaitu hadits mutawatir, masyhur dan ahad. Hal ini sesuai denganulama’ ushul yaitu Abu Bakar Al Jasis yang menjadikan hadits masyhur berdiri sendiri[9].
Sedangkan sebagian ulama’ yang lain menyatakan bahwa haditsmasyhur bukan merupakan hadits yang berdiri sendiri, tetapi merupakanbagian dari hadits ahad. Maka ulama’ membagi hadits berdasar sanadnyamenjadi hadits mutawatir dan hadits ahad.
tingkatan[10].
Para ulama hadits mencurahkan upaya maksimal dalam meletakkan kaidah-kaidah ilmiah isnad sebagai upaya dalam menjaga hadits. Di antara prinsip-prinsip tersebut yang paling penting adalah sebagai berikut.
Pertama, menjaga sanad (mata rantai rawi). Sarana utama yang digunakan para kritikus hadits dalam membedakan shahih dan palsu adalah sanad. Dengan sanad, kita dapat mengetahui orang-orang yang memalsukan hadits, yaitu dengan jalan mencari biografi mereka dalam buku-buku biografi. Dengan sanad, kita juga bisa tahu apakah riwayatnya bersambung atau terputus. Tanpa sanad, kita tidak dapat mengetahui hadits-hadits yang shahih dan yang palsu, sehingga kelompok bid'ah dan batil dapat membuat-buat hadits[11].
Kedua, menyelidiki sejarah hidup rawi. Untuk menjelaskan betapa penting riwayat hidup rawi, Ibnul Madini berkata, "Memhami makna-makna hadits adalah setengah ilmu dan mengetahui kehidupan perawi adalah setengah ilmu." Para ulama kemudian menyusun biografi dan sejarah hidup para rawi dalam kitab-kitab yang memuat nama-nama yang jumlahnya banyak sekali.
Ketiga, melakukan kritik rawi. Para ulama kritikus hadits telah melakukan kritik terhadap setiap rawi yang punya kesalahan, kelemahan, atau kekacauan ingatan, kegoncangan, sikap berlebihan, kelalaian atau lupa, walaupun rawi itu adalah ayah, saudara, anak, kerabat atau teman mereka sendiri. Ali bin Al-Madini ketika ditanya tentang ayahnya, ia berkata, "Tanyakan kepada orang lain tentang beliau." Ketika orang tersebut mengulangi pertanyaannya, Ibnul Madini akhirnya menjawab, "Ini adalah masalah agama. Ia adalah seorang rawi yang lemah (dhaif)."
Tak satu pun ulama yang sungkan untuk menyingkap ke hadapan publik tentang cacat atau aib seorang rawi, sekalipun orang yang paling dekat dengan mereka. Waki', guru Imam Syafi'i, selalu menyertakan rawi lain dalam riwayat yang berasal dari ayahnya. Alasannya sederhana, hanya karena ayahnya pernah mengurus baitul maal. Contoh lain adalah Abu Daud as-Sijistani, penulis kitab Sunan Abu Daud yang berkata, "Anakku, Abdullah, adalah seorang pendusta."
Keempat, ilmu jarh wa at-ta'dil. Ilmu ini merupakan keunggulan umat Islam yang tidak dimiliki umat lain, yang berfungsi menjaga sunnah Rasulullah saw. dari penyusupan. Ilmu ini paling berguna menangkal upaya-upaya yang ingin merusak sunnah.
Kelima, penulisan kitab tentang hadits maudhu' (palsu), lemah, serta rawi yang tercela dan suka memalsukan hadits. Saat kebohongan, penipuan, dan pemalsuan hadits mewabah secara luas, para ulama kritikus hadits menulis kitab tentang hadits palsu, untuk menjelaskan kondisi yang sebenarnya, sehingga tidak ada orang yang dapat melakukan penipuan. Jika seseorang memalsukan sanad yang shahih, atau menyandarkannya pada imam yang kuat, sumbernya akan terlacak[12].

D. Kaidah Kelemahan Isnad
Generasi awal Islam, sejak masa Rasulullah saw. hingga terbunuhnya Khalifah Utsman, tidak pernah saling mendustakan. Rasa saling percaya dan keimanan memenuhi rongga hati mereka. Setelah timbul fitnah, terbentuklah kelompok sempalan dan muncullah kebohongan terhadap Rasulullah saw. yang dilakukan oleh pengikut-pengikut hawa nafsu[13].
Pengaruhnya, para sahabat Rasulullah saw. bersikap tegas dalam menjaga hadits. Mereka meminta sanad dari para rawi dan menetapkannya dalam hadits. Posisi sanad bagi hadits nyaris sama dengan silsilah nasab bagi seseorang. Mereka melakukan kritik dan penyaringan terhadap hadits. Kritik dan penyaringan ini dimulai pada akhir pertengahan abad pertama yang dibangun di atas prinsip-prinsip sebagai berikut.
c.1. Membandingkan hadits yang diriwayatkan dengan hadits yang dihafal di kalangan ulama sahabat.
c.2. Menyelidiki kepribadian, integritas, kecermatan, kejujuran, dan kehati-hatian seorang rawi. Seorang ulama tabi'in bernama Muhammad bin Sirin berkata, "Generasi awal umat ini tidak pernah meminta sanad. Namun, setelah terjadi fitnah (terbunuhnya Utsman), mereka berkata, 'Sebutkan kepada kami para perawi Anda. Kemudian mereka selidiki. Jika mata rantai rawi adalah ahlu sunnah, haditsnya diterima; jika ahlu al-bid'ah, haditsnya ditolak.
c.3. Mempertanyakan sanadnya, seperti telah dijelaskan Ibnu Sirin. Mereka membandingkan hadits yang disampaikan sang rawi dengan hadits yang dihafal. Dalam ilmu mushthalah hadits, kritik isi hadits disebut sebagai naqd matan dan kritik serta penyelidikan terhadap kepribadian rawi disebut naqd isnad. Dengan demikian, dapat dipastikan, kajian terhadap rawi, matan maupun isnad telah dimulai sejak akhir pertengahan abad pertama Hijriah[14].
Para pakar hadits mengidentifikasi sanad-sanad yang lemah dengan baik melalui ciri-cirinya. Setelah melalui penelitian yang mendalam, para kritikus hadits meletakkan prinsip-prinsip dasar untuk mengetahui kelemahan suatu isnad, di antaranya sebagai berikut.
1. Pengakuan pemalsu hadits bahwa ia memalsukan rawi dalam isnadnya, atau indikasi lain yang setingkat dengan pengakuannya. Misalnya, hadits tentang keutamaan-keutamaan Al-Qur'an pada setiap surat, dari awal sampai akhir. Yang semisal dengan pengakuan misalnya perawi menerangkan tanggal lahirnya atau waktu mendengar hadits, padahal sang guru sudah meninggal. Atau, ia mengaku mendengar di suatu tempat dan sang guru belum pernah datang ke sana[15].
2. Sejumlah kritikus hadits menegaskan kebohongan sang rawi. Dengan adanya penegasan kebohongan beberapa kritikus hadits ini, jelas tidak mungkin sepakat untuk berdusta.
3. Indikasi yang berkaitan dengan kondisi pribadi rawi, yang sangat erat kaitannya dengan adalatu ar-rawi,
4. Indikasi yang berkaitan keterputusan isnad, misalnya seorang rawi menerima hadits yang tidak se-zaman
5. Penilaian bahwa seorang rowi suka berdusta, sekalipun dalam menyampaikan hadits ia jujur, tetapi dia tetap dianggap lemah dalam isnad.
6. Penilaian terhadap rawi yang jelek hafalannya “syu’u al-hifdzi”, sebagai dasar yang menyebabkan suatu sanad dianggap lemah[16].


E. Simpulan
Penilaian terhadap kualitas isnad merupakan upaya menjaga kemurnian hadits yang menjadi sumber hukum islam kedua setelah al-Qur’an. Kajian kaidah keshahihan isnad dan kelemahannya berpijak penilaian rawi (periwayat hadits ) yang tertuju terhadap dua aspek utama yaitu terputusnya sanad dan cacatnya seorang rawi. Maka keshahihan dan kelemahan isnad merupak kaidah mendasar dengan asumsi sebagai berikut : 
  1. Bersamung atau terputusnya sanad  yang mendasari kualitas hadits
  2. Penilaian terhadap kepribadian rawi yang menyangkut  “adalatu rowi , tsiqot, fasiq, pelaku bid’ah, pendusta” merupakan pemisah antara isnad yang shahih dan dha’if
3.         Argumen yang mendasari unsur terhindar dari syadz dan unsur terhindar dari illat Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa dokumentasi mempunyai peranan sangat penting dalam penelitian yang berorientasi kuat dan lemahnya isnad.









DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Muhammad dan Muzhakir . Ulumul Hadits,(Bandung: Pustaka Setia, 2004)
Bustamin,. Metodologi Kritik Hadist. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada hlm 2004)
Ismail, M.Syuhudi, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis (PT Bulan Bintang, Jakarta 2006)
Hasyim, Muhammad Umar. Qawaid Ushul al-Hadist., (Dar al-Fikr Beirut tt)

Kholis,,Nur .Pengantar Studi Al-Qur'an dan Al-Hadits, (Yogyakarta: Teras, 2008)
Mudasir , H.. Ilmu Hadist. (Bandung : Pusaka Setia 2008)                 
Rahman, Fatchur, , Ikhtisar Mushthalahul Hadis, (Bandung : Penerbit Al Ma’arif , hlm 1974)
Thahhan, Mahmud  , Taysir Mushthalah al-Hadis, (Beirut : Dar al-Qur'an al-Karim tt)
------------------------- Ushul al-Takhrij wa Dirasat al-Asnid, (Riyadh : Maktabah al-Ma'arif tt)
Shalih, Subhi  ,. Membahas Ilmu-ilmu hadis. (Jakarta : Pustaka Firdaus 2007)
Suparta ,Munzier, Ilmu Hadits,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002)





[1] Mahmud, Atthohan, Taisir Mushtholahal Hadist. Surabaya : Al Hidayah hlm 112
[2] Subhi As-Shalih, , 2007. Membahas Ilmu-ilmu hadis. Jakarta : Pustaka Firdaus hlm 217
[3] Mudasir , H. 2008. Ilmu Hadist. Bandung : Pusaka Setia hlm 87
[4] Bustamin, 2004. Metodologi Kritik Hadist. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada hlm 18

[5] Mahmud al-Thahhan, Taysir Mushthalah al-Hadis, Beirut : Dar al-Qur'an al-Karim Hlm 29
[6] Ibid hlm 120
[7] M.Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis (PT Bulan Bintang, Jakarta) 119
[8] Nur Kholis,Pengantar Studi Al-Qur'an dan Al-Hadits, (Yogyakarta: Teras, 2008). Hlm 252
[9] Munzier Suparta, Ilmu Hadits,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), p. 9 hlm  59
[10] Muhammad Ahmad dan Muzhakir . Ulumul Hadits,(Bandung: Pustaka Setia, 2004), p. 51 hlm 125
[11]  Mahmud al-Thahhan, Ushul al-Takhrij wa Dirasat al-Asnid, Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, hlm. 139)
[12] Ibid hlm 120
[13] Muhammad Umar Hasyim, tt, Qawaid Ushul al-Hadist., Dar al-Fikr Beirut, hlm 172
[14] Ibid hlm 154
[15] Fatchur Rahman, 1974, Ikhtisar Mushthalahul Hadis, Bandung : Penerbit Al Ma’arif , hlm :119
[16] Ibid hlm 123

Tidak ada komentar:

Posting Komentar