KAIDAH KESHAHIHAN ISNAD DAN KELEMAHNNYA
Oleh : Ade Nurpriatna
A.
Pendahuluan
Allah S.w.t. memuliakan umat Islam dengan keistimewaan yang besar
yang tidak diberi kepada umat manusia selain mereka, yaitu isnad. Keistimewaan
umat Islam ini merupakan jaminan Allah s.w.t
untuk menjaga sumber hukum al-Quran dan Sunnah. Tradisi “Sanad” ini
adalah suatu intipati terutama dalam sistem penilaian keabsahan pesan agama
sejak generasi awal Islam.
Penelitian
tentang kaidah sanad merupakan kegiatan ilmiah untuk membuktikan kebenaran
suatu hadis dan bagian dari upaya membenarkan yang benar dan membatalkan yang
batil dalam keabsahan hadits. Umat Islam sangat besar perhatiannya dalam
penelitian isnad, karena berkaitan dengan hukum yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW., baik berupa ucapan,
perbuatan, dan ketetapan yang disandarkan kepada beliau-. Usaha ini hanya
mempunyai satu tujuan, yaitu mengikuti jejak Nabi Muhammad SAW., dengan berjalan
di atas sunnah beliau, dalam rangka mencapai keridlaan Allah SWT. dan
mendapatkan kecintaannya.
Sudah sejak
lama para para ulama berusaha memelihara peninggalan Nabi ini, dan menjaganya
dari persangkaan negatif dan pemalsuan yang ternyata banyak dilakukan oleh
berbagai kalangan. Usaha pemeliharaan pusaka Nabi Muhammad tersebut dimulai
dengan pembukuan secara umum tentang hadis dan secara terus menerus diadakan
penelitian melalui proses yang sangat ketat berdasarkan metodologi dan standart
yang diciptakan secara sendiri-sendiri oleh masing-masing peneliti. Hasil usaha
para ulama peneliti hadis adalah penetapan lima persyaratan keshahihan hadis
Nabi; baik yang berkenan dengan sanad ataupun dengan matan.
B .
Makna Sanad dan Isnad
Kata Sanad menurut Etimologi adalah sandaran atau sesuatu yang dijadikan
sandaran. Dikatakan demikian, karena setiap hadits selalu bersandar kepadanya.
المعتمد ,وسمي كدلك لان الحديث يستند اليه ويعتمد
عليه
Artinya : “Sanad berarti pegangan, dikatakan demikian karena hadits
disandarkan kepadanya”[1]
Adapun tentang arti sanad menurut Terminologi, terdapat perbedaan rumusan
pengertian. Al-Badra bin Jama’ah dan At-Tiby mengatakan bahwa Sanad adalah : الإخبارعن طريق
االمتن “Berita tentang jalan matan”. Sebagian ulama
mendefinisasikan sanad sebagai silsilah orang-orang (yang meriwayatkan hadits),
yang menyampaikannya pada matan hadit, ada juga ulama yang mendifinisasikan sebagai suatu: “Silsilah para perawi yang menukilkan hadits dan sumbernya
yang pertama[2]”
Yang berkaitan dengan sanad, adalah kata-kata, seperti Al-Isnad, Al-Musnid
dan Al-Musnad. Kata-kata ini secara terminology mempunyai arti yang cukup luas,
sebagaimana yang dikembangkan oleh para ulama.
Kata Al-Isnad berarti menyandarkan, mengasalkan (mengembalikan ke asal),
dan mengangkat. Maksudnya ialah menyandarkan hadits kepada orang yang
mengatakannya. Menurut At-Tiby, “kata Al-Isnad dan As-Sanad digunakan oleh para
ahli dengan pengertian yang sama.[3]”
Kata Al Musnad mempunyai beberapa arti, bisa berarti hadits yang
disandarkan atau diisnatkan oleh seseorang, bias berarti kumpulan hadits yang
diriwayatkan dengan menyebutkan Sanad secara lengkap. Seperti Musnad
Al-Firdaus, bisa berarti nama kitab yang menghimpun hadits-hadits dengan system
penyusunan berdasarkan nama-nama para sahabat dan para perawi hadits. Seperti kitab
Musnad Ahmad, tetapi bisa juga berarti nama bagi hadits yang marfu’ dan
Muttasil yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW[4].
Ada beberapa
istilah yang terkait dengan sanad dalam Ilmu Hadits antara lain :
- Isnad Adalah tidak berbeda jauh dengan
sanad yaitu menjelaskan jalan materi hadits (Matan) dengan meriwayatkan
hadits secara musnad.
- Musnad adalah secara harfiah berarti kata
benda yang menunjukkan palaku. Sedangkan secara istillah sebagaimana
pernyataan dari Mahmud At-Tahhan “ Orang yang meriwayatkan hadits dengan
sanadnya, baik dia tahu tentang sanad atau tidak, maka dia sekedar
meriwayatkan.”
- Musnad adalah sesuatu yang di sandarkan
kepada musnid yang bersumber dari musnid sebelumnya dan disebarkan kepada
musnid selanjutnya. Dalam hal ini musnadnya adalah hadits yang disandarkan
kepada rawi lain.
C. Kesahihan Isnad
Latar belakang
munculnya kritik sanad hadits, adalah karena apabila kitab ini disusun hadits
telah mengalami pemalsuan, sementara sanad memiliki kedudukan yang amat penting
bagi hadits, sehingga untuk meneliti suatu hadits peran hadits sangat sentral,
mengingat berkait dengan manusia sebagai sandaran periwayatan. Akan tetapi
masalah lain timbul, persoalan apakah suatu hadits dari dan betul-betul
disabdakan oleh Nabi SAW. Tentunya harus ada pembedaaan secara jelas yaitu
Apakah mengingkari Muhammad SAW sebagai Rasul Allah atau meragukan apakah
hadits itu benar-benar berasal darinya.
Bila
mempersoalkan masalah ini, artinya hadits berada dalam lingkaran yang kedua
tadi dimaksudkan sebagai sikap kritis terhadap hadits, maka hal itu bukanlah
merupakakan sesuatu yang tabu. Sebab sikap seperti itu sama sekali bukan hal
yang baru di kalangan para pemikir Islam.
Tujuan dari
sanad itu sendiri adalah sebagai pengetatan dan sikap hati-hati dalam meriwayatkan
hadits, dan dalam perkembangan terhadap sanad ini maka munculah sebuah metode
atau sistem al Jarah wa al Ta’dil,
yaitu, kritik terhadap rawi-rawi hadits.
Pada masa Nabi
SAW, isnad itu masih bersifat sederhana, namun menjelang akhir abad pertama
hijri ilmu tentang isnad ini benar-benar telah berkemban[5].
Kajian kaidah
keshaihan isnad dan kelemahannya merupakan akurasi kaedah kesahihan sanad hadis
diarahkan pada faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan kualitas
sanad dan kualitas matan suatu hadis tertentu. Dan apabila kaedah kesahihan
hadis itu sejalan dengan kritik sumber yang dikenal ilmu sejarah, maka kaedah
tersebut merupakan suatu metode ilmiah yang perlu dikembangkan dalam kajian
hadis yang perlu dilakukan karena ada beberapa aspek penting, yaitu :
a. Mengingat kedudukan kualitas hadis erat
sekali kaitannya dengan dapat atau tidaknya suatu hadis dijadikan sebagai
hujjah atau dalil agama. Dengan demikian penelusuran secara historis sesuatu
yang dikatakan sebagai hadis Nabi itu, apakah benar-benar dapat
dipertanggungjawabkan tingkat validitas dan akurasinya berasal dari Nabi
Muhammad SAW.
b. Suatu hadis yang sanadnya sahih, tidak
dengan sendirinya maka hadis itu juga berkualitas sahih. ada sebab-sebab yang
lain, misalnya peluang dominan riwayat bil-makna atau peran hadis yang bersifat
duniawi.
c. Kaidah kesahihan sanad hadis merupakan salah
satu acuan umum yang mendasar untuk meneliti dan menentukan kualitas suatu
hadis maka keadaan tersebut perlu ditelaah secara kritis. Para ulama Mutaqaddimin,
yang menyatakan bahwa sanad menduduki posisi strategis dalam kualitas hadis,
juga dikatakan sebagai bagian dari agama. Kajian ini diharapkan bisa dapat
diketahui relevansinya antar unsur-unsur yang terdapat dalam kaedah tersebut,
sehingga dibuat sebagai acuan untuk menentukan kesahihan hadis, baik dari segi
sanad atau matannya[6].
d. Hadis Nabi di satu sisi merupakan fakta
sejarah, dan dalam ilmu sejarah telah dikenal adanya kritik sumber, maka kaedah
kesahihan sanad hadis perlu dikaji melalui pendekatan ilmu sejarah[7].
Kaidah
keshahihan sanad hadits, merupakan teori yang dipergunakan untuk penelaahan
unsur-unsur kaedah kesahihan sanad hadis adalah argumen-argumen naqliy, aqliy,
sejarah dan ilmu sejarah, penerapaan dari argumen-argumen tersebut dikemukakan
sebagai berikut :
- Argumen-argumen yang mendasari unsur sanad
bersambung adalah sejarah, naqliy (hadis Nabi SAW) dan logika.
- Argumen-argumen yang mendasari unsur beragama
Islam (unsur minor dari unsur periwayat bersifat adil) dalil naqliy
dan aqliy (logika) atau dalil al-badihiy (aksioma).
- Argumen yang mendasari unsur berstatus
mukallaf (unsur minor dari periwayat bersifat adil), adalah dalil
aksioma juga.
- Argumen yang mendasari unsur melaksanakan
ketentuan agama, adalah naqliy, logika dan kejiwaan.
- Argumen yang mendasari unsur terhindar
dari syadz dan unsur terhindar dari illat Sebagaimana telah disebutkan
di atas bahwa dokumentasi mempunyai peranan sangat penting dalam
penelitian yang berorientasi sejarah. dokumentasi di sini berarti proses
pembuktian fakta sejarah, baik yang bebentuk tulisan, lisan, gambar
ataupun arkeologi. Pengertian ini berarti sinonim dengan sumber, baik
tertulis atau tidak, resmi atau tidak resmi, primer atau bukan primer
Dilihat dari obyeknya, penelitian yang berorientasi sejarah sama dengan
penelitian hadis, yaitu sama-sama meneliti sumber dengan tujuan memperoleh
data yang otentik dan akurat.
Sanad hadis
adalah merupakan sumber riwayat, karena didalamnya terdapat beberapa saksi,
baik langsung atau tidak langsung, yang terdiri dari kalangan sahabat dan
generasi-generasi beikutnya sampai perawi terakhir atau para mukharrij (kolektor
hadis). Perawi dari kalangan sahabat disebut sebagai sumber primer, sedangkan
generasi berikutnya disebut sebagai sumber sekunder. Keadaan yang demikian
selaras dengan sumber data menurut ilmu sejarah. Dalam ilmu sejarah, yang
disebut sumber primer adalah saksi mata atau indera lainnya atau alat mekanis,
sedangkan sumber sekunder adalah kesaksian dari orang yang tidak hadir pada
peristiwa yang disaksikannya Dilihat dari obyeknya, penelitian hadis dapat
diarahkan pada dua sisi, yaitu sanad dan matan. Kritik yang ditujukan kepada
sanad merupakan kritik ekstern (al-Naqd al-Kharijiy), sedang kritik yang
ditujukan kepada matan merupakan kritik intern (al-Naqd al Dakhiliy). Ini juga
sejalan dengan teori sejarah, yakni penelitian sumber data ditujukan kepada
kritik ekstern dengan maksud membuktikan otentik tidaknya suatu dokumen,
menelusuri kredibilitas pembuatnya dan asal-usul sumber. Kritik intern untuk
membuktikan akurasi isi sumber, bisa diterima tidaknya sebagai fakta historis,
bahasanya dan tujuannya.
Kesahihan sanad hadits yang
dimaksud dengan kesahihan sanad hadits menurut Subhi Shalih dalam Noor Kholis
yaitu segala syarat atau criteria yang harusdipenuhi oleh suatu sanad hadits yang
berkualitas shahih[8].
Adapun criteriakesahihan sanad hadits yaitu:
a.
Ittishal as sanad (sanad bersambung)
Yaitu tiap perawi dalam sanadhadits dari perawi pertama sampai terakhir
menerima riwayat haditsdari perawi sebelumnya, yaitu sahabat.
b. Perawi bersifat‘adil
Yaitu memenuhi kriteria mukallaf, beragamaIslam,
melaksanakan ketentuan agama dan memelihara muru’ah.
c. Perawi bersifat dhabit.
Yaitu
kuat hafalan atau hafal dengan sempurna dari awal
menerima sampai meriwayatkannya kembali.
d. Terhindar syudzudz
Yaitu suatu sanad yang tidak bertentangan
dengan sanad yang lebih kuat derajatnya.
Para ulama’ berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau darisanad
(kuantitas/jumlah perawi), sebagian ulama membaginya menjadi 3bagian yaitu
hadits mutawatir, masyhur dan ahad. Hal ini sesuai denganulama’ ushul yaitu Abu
Bakar Al Jasis yang menjadikan hadits masyhur berdiri sendiri[9].
Sedangkan sebagian ulama’ yang lain menyatakan bahwa haditsmasyhur bukan
merupakan hadits yang berdiri sendiri, tetapi merupakanbagian dari
hadits ahad. Maka ulama’ membagi hadits berdasar sanadnyamenjadi hadits
mutawatir dan hadits ahad.
Para ulama hadits
mencurahkan upaya maksimal dalam meletakkan kaidah-kaidah ilmiah isnad sebagai
upaya dalam menjaga hadits. Di antara prinsip-prinsip tersebut yang paling
penting adalah sebagai berikut.
Pertama, menjaga sanad (mata rantai
rawi). Sarana utama yang digunakan para kritikus hadits dalam membedakan shahih
dan palsu adalah sanad. Dengan sanad, kita dapat mengetahui orang-orang yang
memalsukan hadits, yaitu dengan jalan mencari biografi mereka dalam buku-buku
biografi. Dengan sanad, kita juga bisa tahu apakah riwayatnya bersambung atau
terputus. Tanpa sanad, kita tidak dapat mengetahui hadits-hadits yang shahih
dan yang palsu, sehingga kelompok bid'ah dan batil dapat membuat-buat hadits[11].
Kedua, menyelidiki sejarah hidup
rawi. Untuk menjelaskan betapa penting riwayat hidup rawi, Ibnul Madini
berkata, "Memhami makna-makna hadits adalah setengah ilmu dan mengetahui
kehidupan perawi adalah setengah ilmu." Para ulama kemudian menyusun
biografi dan sejarah hidup para rawi dalam kitab-kitab yang memuat nama-nama
yang jumlahnya banyak sekali.
Ketiga, melakukan kritik rawi. Para
ulama kritikus hadits telah melakukan kritik terhadap setiap rawi yang punya
kesalahan, kelemahan, atau kekacauan ingatan, kegoncangan, sikap berlebihan,
kelalaian atau lupa, walaupun rawi itu adalah ayah, saudara, anak, kerabat atau
teman mereka sendiri. Ali bin Al-Madini ketika ditanya tentang ayahnya, ia
berkata, "Tanyakan kepada orang lain tentang beliau." Ketika orang
tersebut mengulangi pertanyaannya, Ibnul Madini akhirnya menjawab, "Ini
adalah masalah agama. Ia adalah seorang rawi yang lemah (dhaif)."
Tak satu pun ulama yang sungkan untuk
menyingkap ke hadapan publik tentang cacat atau aib seorang rawi, sekalipun
orang yang paling dekat dengan mereka. Waki', guru Imam Syafi'i, selalu
menyertakan rawi lain dalam riwayat yang berasal dari ayahnya. Alasannya
sederhana, hanya karena ayahnya pernah mengurus baitul maal. Contoh lain adalah
Abu Daud as-Sijistani, penulis kitab Sunan Abu Daud yang berkata, "Anakku,
Abdullah, adalah seorang pendusta."
Keempat, ilmu jarh wa at-ta'dil.
Ilmu ini merupakan keunggulan umat Islam yang tidak dimiliki umat lain, yang
berfungsi menjaga sunnah Rasulullah saw. dari penyusupan. Ilmu ini paling
berguna menangkal upaya-upaya yang ingin merusak sunnah.
Kelima, penulisan kitab tentang
hadits maudhu' (palsu), lemah, serta rawi yang tercela dan suka memalsukan
hadits. Saat kebohongan, penipuan, dan pemalsuan hadits mewabah secara luas,
para ulama kritikus hadits menulis kitab tentang hadits palsu, untuk
menjelaskan kondisi yang sebenarnya, sehingga tidak ada orang yang dapat
melakukan penipuan. Jika seseorang memalsukan sanad yang shahih, atau
menyandarkannya pada imam yang kuat, sumbernya akan terlacak[12].
D. Kaidah Kelemahan Isnad
Generasi awal Islam, sejak
masa Rasulullah saw. hingga terbunuhnya Khalifah Utsman, tidak pernah saling
mendustakan. Rasa saling percaya dan keimanan memenuhi rongga hati mereka.
Setelah timbul fitnah, terbentuklah kelompok sempalan dan muncullah kebohongan
terhadap Rasulullah saw. yang dilakukan oleh pengikut-pengikut hawa nafsu[13].
Pengaruhnya, para sahabat
Rasulullah saw. bersikap tegas dalam menjaga hadits. Mereka meminta sanad dari
para rawi dan menetapkannya dalam hadits. Posisi sanad bagi hadits nyaris sama
dengan silsilah nasab bagi seseorang. Mereka melakukan kritik dan penyaringan
terhadap hadits. Kritik dan penyaringan ini dimulai pada akhir pertengahan abad
pertama yang dibangun di atas prinsip-prinsip sebagai berikut.
c.1. Membandingkan hadits yang
diriwayatkan dengan hadits yang dihafal di kalangan ulama sahabat.
c.2. Menyelidiki kepribadian,
integritas, kecermatan, kejujuran, dan kehati-hatian seorang rawi. Seorang
ulama tabi'in bernama Muhammad bin Sirin berkata, "Generasi awal umat ini
tidak pernah meminta sanad. Namun, setelah terjadi fitnah (terbunuhnya Utsman),
mereka berkata, 'Sebutkan kepada kami para perawi Anda. Kemudian mereka
selidiki. Jika mata rantai rawi adalah ahlu sunnah, haditsnya diterima; jika
ahlu al-bid'ah, haditsnya ditolak.
c.3. Mempertanyakan sanadnya,
seperti telah dijelaskan Ibnu Sirin. Mereka membandingkan hadits yang
disampaikan sang rawi dengan hadits yang dihafal. Dalam ilmu mushthalah hadits,
kritik isi hadits disebut sebagai naqd matan dan kritik serta
penyelidikan terhadap kepribadian rawi disebut naqd isnad. Dengan
demikian, dapat dipastikan, kajian terhadap rawi, matan maupun isnad telah
dimulai sejak akhir pertengahan abad pertama Hijriah[14].
Para pakar hadits
mengidentifikasi sanad-sanad yang lemah dengan baik melalui ciri-cirinya. Setelah
melalui penelitian yang mendalam, para kritikus hadits meletakkan
prinsip-prinsip dasar untuk mengetahui kelemahan suatu isnad, di antaranya
sebagai berikut.
1. Pengakuan pemalsu hadits bahwa ia
memalsukan rawi dalam isnadnya, atau indikasi lain yang setingkat dengan
pengakuannya. Misalnya, hadits tentang keutamaan-keutamaan Al-Qur'an pada
setiap surat, dari awal sampai akhir. Yang semisal dengan pengakuan misalnya
perawi menerangkan tanggal lahirnya atau waktu mendengar hadits, padahal sang
guru sudah meninggal. Atau, ia mengaku mendengar di suatu tempat dan sang guru
belum pernah datang ke sana[15].
2. Sejumlah kritikus hadits menegaskan
kebohongan sang rawi. Dengan adanya penegasan kebohongan beberapa kritikus
hadits ini, jelas tidak mungkin sepakat untuk berdusta.
3. Indikasi yang berkaitan dengan kondisi
pribadi rawi, yang sangat erat kaitannya dengan adalatu ar-rawi,
4. Indikasi yang berkaitan keterputusan
isnad, misalnya seorang rawi menerima hadits yang tidak se-zaman
5. Penilaian bahwa seorang rowi suka
berdusta, sekalipun dalam menyampaikan hadits ia jujur, tetapi dia tetap
dianggap lemah dalam isnad.
6. Penilaian terhadap rawi yang jelek
hafalannya “syu’u al-hifdzi”, sebagai dasar yang menyebabkan suatu sanad
dianggap lemah[16].
E. Simpulan
Penilaian terhadap kualitas isnad merupakan upaya menjaga kemurnian
hadits yang menjadi sumber hukum islam kedua setelah al-Qur’an. Kajian kaidah
keshahihan isnad dan kelemahannya berpijak penilaian rawi (periwayat hadits )
yang tertuju terhadap dua aspek utama yaitu terputusnya sanad dan cacatnya
seorang rawi. Maka keshahihan dan kelemahan isnad merupak kaidah mendasar
dengan asumsi sebagai berikut :
- Bersamung atau terputusnya sanad yang mendasari kualitas hadits
- Penilaian terhadap kepribadian rawi yang
menyangkut “adalatu rowi , tsiqot,
fasiq, pelaku bid’ah, pendusta” merupakan pemisah antara isnad yang shahih
dan dha’if
3.
Argumen yang mendasari unsur terhindar dari
syadz dan unsur terhindar dari illat Sebagaimana telah disebutkan di atas
bahwa dokumentasi mempunyai peranan sangat penting dalam penelitian yang
berorientasi kuat dan lemahnya isnad.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Muhammad dan Muzhakir . Ulumul Hadits,(Bandung:
Pustaka Setia, 2004)
Bustamin,. Metodologi
Kritik Hadist. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada hlm 2004)
Ismail,
M.Syuhudi, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis (PT Bulan Bintang, Jakarta 2006)
Hasyim,
Muhammad Umar. Qawaid Ushul al-Hadist., (Dar al-Fikr Beirut tt)
Kholis,,Nur .Pengantar Studi Al-Qur'an dan
Al-Hadits, (Yogyakarta: Teras, 2008)
Mudasir , H.. Ilmu Hadist. (Bandung :
Pusaka Setia 2008)
Rahman,
Fatchur, , Ikhtisar Mushthalahul Hadis, (Bandung : Penerbit Al Ma’arif ,
hlm 1974)
Thahhan, Mahmud
, Taysir Mushthalah al-Hadis, (Beirut : Dar al-Qur'an al-Karim
tt)
------------------------- Ushul al-Takhrij wa Dirasat al-Asnid, (Riyadh : Maktabah al-Ma'arif tt)
Shalih,
Subhi ,. Membahas Ilmu-ilmu hadis.
(Jakarta : Pustaka Firdaus 2007)
Suparta ,Munzier, Ilmu Hadits,(Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2002)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar